Selasa, 25 Mei 2010

Al fatihah 6

6 Tunjukilah kami jalan yang
lurus,(QS. 1:6)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 6
اَنِدْها َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
"Ihdi": Pimpinlah, tunjukilah, berilah
hidayah
Arti "hidayah" ialah: Menunjukkan
sesuatu jalan atau cara
menyampaikan orang kepada orang
yang ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia
bermacam-macam hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia begitu juga binatang-
binatang, dilengkapi oleh Allah
dengan bermacam-macam sifat,
yang timbulnya bukanlah dari
pelajaran, bukan pula dari
pengalaman, melainkan telah
dibawanya dari kandungan ibunya.
Sifat-sifat ini namanya "naluri",
dalam bahasa Arab disebut
"garizah".
Umpamanya, naluri "ingin
memelihara diri" (mempertahankan
hidup). Kelihatan oleh kita seorang
bayi bila merasa lapar dia menangis.
Sesudah terasa di bibirnya mata
susu ibunya, dihisapnyalah sampai
hilang laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak
seorang juga yang mengajarkan
kepadanya, bukan pula timbul dari
pengalamannya, hanyalah semata-
mata ilham dan petunjuk dari Allah
kepadanya untuk mempertahankan
hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah
membuat sarangnya, laba-laba
membuat jaringnya, semut
membuat lobangnya dan
menimbun makanan dalam lubang
itu. Semua itu dikerjakan oleh
binatang-binatang tersebut ialah
untuk mempertahankan hidupnya
dan memelihara dirinya masing-
masing dengan dorongan nalurinya
semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain,
umpamanya garizah ingin tahu,
ingin mempunyai, ingin berlomba-
lomba, ingin bermain, ingin meniru,
takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu sebagai
disebutkan terdapat pada manusia
dan binatang, hanya perbedaannya
ialah garizah manusia bisa
menerima pendidikan dan
perbaikan, tetapi garizah binatang
tidak, sebab itulah manusia bisa
maju tetapi binatang tidak, hanya
tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah itu adalah dasar bagi
kebaikan sebagaimana dia pun juga
dasar bagi kejahatan. Umpamanya
karena garizah ingin memelihara
diri, orang berusaha, berniaga,
bertani, artinya mencari nafkah
secara halal. Tetapi karena garizah
"ingin memelihara diri" itu pulalah
orang mencuri, menipu, merampok
dan lain-lain. Karena garizah "ingin
tahu" pulalah orang suka mencari-
cari aib dan rahasia sesamanya,
yang mengakibatkan permusuhan
dan persengketaan. Demikianlah
seterusnya dengan garizah-garizah
yang lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat
dihilangkan dan tidak ada faedahnya
membunuhnya. Ada ahli pikir dan
pendidik yang hendak
memadamkan garizah karena
melihat seginya yang tidak baik
(jahat) itu, sebab itu diadakan oleh
mereka macam-macam peraturan
untuk mengikat kemerdekaan anak-
anak supaya garizah itu jangan
tumbuh, atau mana yang telah
tumbuh menjadi mati. Tetapi
perbuatan mereka itu besar
bahayanya terhadap pertumbuhan
akal, tubuh dan akhlak anak-anak.
Dan bagaimanapun orang berusaha
hendak membunuh garizah itu,
namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan
dan kuatnya rintangan terhadap
sesuatu garizah, maka kelihatan dia
telah padam tetapi manakala ada
yang membangkitkannya, timbullah
dia kembali. Oleh karena itu
kendatipun garizah itu dasar bagi
kebaikan, sebagaimana dia juga
dasar bagi kejahatan, tetapi
kewajiban manusia bukanlah
menghilangkannya, hanya mendidik
dan melatihnya, supaya dapat
dimanfaatkan dan disalurkan ke arah
yang baik.
Allah telah menganugerahkan
kepada manusia bermacam-macam
garizah untuk jadi hidayah
(petunjuk) yang akan dipakai dengan
cara bijaksana oleh manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu sifatnya belum
pasti sebagai disebutkan di atas,
maka ia belum cukup untuk jadi
hidayah bagi kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat.
Sebab itu oleh Allah swt. manusia
dilengkapi lagi dengan pancaindra.
Pancaindra itu sangat besar
harganya terhadap pertumbuhan
akal dan pikiran manusia, sebab itu
ahli-ahli pendidikan berkata:
ساوحلا باوبأ ةفرعملا
Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu
pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan
pancaindra itulah manusia dapat
berhubungan dengan alam yang di
luar, dengan arti bahwa sampainya
sesuatu dari alam yang di luar ini ke
dalam otak manusia adalah pintu-
pintu pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan
pancaindra, juga belum cukup lagi
untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan
manusia. Banyak lagi benda-benda
dalam alam ini yang tidak dapat
dilihat oleh mata. Banyak macam
suara yang tidak dapat didengar
oleh telinga. Malah selain dari alam
mahsusat (yang dapat ditangkap
oleh pancaindra), ada lagi alam
ma'qulat (yang hanya dapat
ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya
dapat menangkap alam mahsusat,
tangkapannya tentang yang
mahsusat itupun tidak selamanya
betul, kadang-kadang salah. Inilah
yang dinamakan dalam ilmu jiwa
"illusi optik" (tiupan pandangan),
dalam bahasa Arab disebut,
"khida'an nazar". Sebab itu manusia
membutuhkan lagi hidayah yang
kedua itu. Maka dianugerahkan lagi
oleh Allah hidayah yang ketiga, yaitu
"hidayah akal".
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal itu dapatlah
manusia menyalurkan garizah ke
arah yang baik agar garizah itu
menjadi pokok bagi kebaikan, dan
dapatlah manusia membetulkan
kesalahan-kesalahan pancaindranya,
membedakan buruk dengan baik.
Malah sangguplah dia menyusun
mukadimah untuk
menyampaikannya kepada natijah,
mempertalikan akibat dengan sebab,
memakai yang mahsusat sebagai
tangga kepada yang ma'qulat,
mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasai untuk
menyampaikannya kepada yang
abstrak, maknawi dan gaib,
mengambil dalil dari adanya
makhluk untuk adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi
memadai untuk membawanya
kepada kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat di samping berbagai
macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal itu
bermacam-macam, yang baik
menurut pikiran si A belum tentu
baik menurut pandangan si B,
malah banyak manusia yang masih
mempergunakan akalnya, atau
akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu
dan sentimennya. Hingga yang
buruk itu menjadi baik dalam
pandangannya dan yang baik itu
menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa
garizah ditambah dengan
pancaindra ditambah pula dengan
akal belum lagi cukup untuk menjadi
hidayah yang akan menyampaikan
manusia kepada kebahagiaan hidup
jasmani dan rohani, di dunia dan
akhirat.
Oleh karena itu manusia
membutuhkan suatu hidayah lagi, di
samping pancaindra dan akalnya itu,
yaitu hidayah agama yang dibawa
oleh para rasul `alaihimus shalatu
wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid
pada jiwa manusia
Dalam pada itu kalau diperhatikan
agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan yang diciptakan oleh
manusia (Al-Adyan Al-Wad'iyyah)
kelihatan pada jiwa manusia telah
ada bibit-bibit suka beragama. Yang
demikian itu karena manusia itu
mempunyai sifat merasa berhutang
budi suka berterima kasih dan
membalas budi kepada orang yang
berbuat baik kepadanya. Maka di
kala diperhatikan dirinya dan alam
yang di sekelilingnya, umpamanya
roti yang dimakannya, tumbuh-
tumbuhan yang ditanamnya,
binatang ternak yang
digembalakannya, matahari yang
memancarkan sinarnya, hujan yang
turun dari langit yang
menumbuhkan tanam-tanaman,
akan merasa berutang budilah dia
kepada "suatu Zat" yang gaib yang
telah berbuat baik dan melimpahkan
nikmat yang besar itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan akalnya
bahwa Zat yang gaib itulah yang
menciptakannya, yang
menganugerahkan kepadanya dan
kepada jenis manusia seluruhnya,
segala sesuatu yang ada di alam ini,
segala sesuatu yang dibutuhkannya
untuk memelihara diri dan
mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi
kepada suatu Zat Yang Gaib itu,
maka dipikirkannyalah bagaimana
cara berterima kasih dan membalas
budi itu, atau dengan perkataan lain
bagaimana cara "menyembah Zat
Yang Gaib itu".
Akan tetapi masalah bagaimana cara
menyembah Zat Yang Gaib itu,
adalah suatu masalah yang sukar,
yang tidak dapat dicapai oleh akal
manusia. Sebab itu di dalam sejarah
kelihatan bahwa tidak pernah
adanya keseragaman dalam hal ini.
Bahkan akal pikirannya akan
membawanya kepada kepercayaan
membesarkan alam di samping
membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja
dan karena belum dapat dia
menggambarkan di otaknya
bagaimana menyembah "Zat Yang
Gaib", maka dipilihlah di antara alam
ini sesuatu yang besar, atau yang
indah, atau yang banyak
manfaatnya, atau sesuatu yang
ditakutinya untuk jadi pelambang
bagi Zat Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari,
bulan dan bintang-bintang, atau
sungai-sungai, binatang dan lain-
lain, maka disembahnyalah benda-
benda itu, sebagai lambang bagi
menyembah Tuhan atau Zat Yang
Gaib itu, dan diciptakannyalah cara-
cara beribadah (menyembah)
benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu
macam kepercayaan, yang
dinamakan "Kepercayaan
menyembah kekuatan alam",
sebagai yang terdapat di Mesir,
Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di
tempat-tempat lain di zaman
purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah
bahwa manusia menurut fitrahnya
suka beragama, suka memikirkan
dari mana datangnya alam ini, dan
ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana
datangnya alam ini, akan sampailah
dia pada keyakinan tentang adanya
Tuhan, bahkan akan sampailah dia
kepada keyakinan tentang keesaan
Tuhan itu (tauhid), karena akidah
(keyakinan) tentang keesaan inilah
yang lebih mudah, dan lebih lekas
dipahami oleh akal manusia. Karena
itu dapatlah kita tegaskan bahwa
manusia itu menurut nalurinya
adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa
bangsa Kaldania pada mulanya
adalah beragama tauhid, barulah
kemudian mereka menyembah
matahari, planet- planet dan
bintang-bintang yang mereka
simbolkan dengan patung-patung.
Sesudah Raja Namruz meninggal,
mereka pun mendewakan dan
menyembah Namruz itu. Bangsa
Assyiria pun pada asalnya
beragama tauhid, kemudian mereka
telah lupa kepada akidah tauhid itu
dan mereka persekutukanlah Tuhan
dengan binatang-binatang, dan
inilah yang dipusakai oleh orang-
orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila
diperhatikan nyanyian-nyanyian
yang mereka nyanyikan dalam
upacara-upacara peribadatan,
jelaslah bahwa bukan seluruh
bangsa Mesir purbakala itu orang-
orang musyrik dan wasani,
melainkan di antara mereka juga ada
orang-orang muwahhidin,
penganut akidah tauhid. Di dalam
nyanyian-nyanyian itu terdapat
ungkapan berikut:
"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang
tiada sekutu bagi-Nya"
"Dia mencintai seluruh makhluk,
sedang dia sendiri tak ada yang
menciptakan-Nya"
"Dialah Tuhan Yang Maha Agung,
Pemilik langit dan bumi dan pencipta
seluruh makhluk"
Umat manusia yang dengan akalnya
itu telah sampai kepada akidah
tauhid. Akidah tauhid ini sering
menjadi kabur, atau tidak murni lagi,
dan jadilah mempersekutukan
Tuhan yang menonjol di antara
mereka. Biar pun pendeta-pendeta
mereka masih tetap dalam
ketauhidannya, akan tetapi pendeta-
pendeta ini kadang-kadang takut
atau segan untuk memberantas
kepercayaan mempersekutukan
Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam
arus masyarakat, yakni arus
mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan bahwa akidah
tauhid ini tidak pernah lenyap sama
sekali, melainkan kepercayaan
kepada adanya suatu Zat Yang Maha
Esa itu tetap ada. Dialah Pencipta
seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan
atau dewa-dewa yang lain itu
mereka anggap hanyalah sebagai
pembantu dan pelayan atau simbol
Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum
Islam tentang Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun sebelum
datang agama Islam, kalau
ditanyakan kepada mereka,
"Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi ini?" Mereka menjawab,
"Allah." Dan kalau ditanyakan,
"Adakah Al-Lata dan Al-Uzza itu
menjadikan sesuatu yang ada alam
ini"? Mereka menjawab, "Tidak."
Mereka sembah dewa-dewa itu
hanya untuk mengharapkan
perantaraan dan syafaat dari mereka
terhadap Tuhan yang sebenarnya.
Allah swt. berfirman menceritakan
perkataan musyrikin Arab itu:
اَم ْمُهُدُبْعَن
اَّلِإ
اَنوُبِّرَقُيِل
ىَلِإ ِهَّللا ىَفْلُز
Artinya:
Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka
mendekatkan (kedudukan) kami
kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya. (Q.S Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa
dicapai oleh akal
Manakala manusia itu memikirkan ke
manakah kembalinya alam ini, akan
sampailah dia pada keyakinan
bahwa di balik hidup di dunia yang
fana ini akan ada lagi hidup di hari
kemudian yang kekal dan abadi.
Tetapi dapatkah manusia dengan
akal dan pikirannya semata-mata
mengetahui apakah yang perlu
dikerjakan atau dijauhinya sebagai
persiapan untuk kebahagiaan di hari
kemudian (hari akhirat) itu?
Jawabnya tentu saja tidak, sejarah
pun telah membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa manusia telah
diberi Allah akal untuk jadi hidayah
baginya, di samping garizah dan
pancaindra. Tetapi hidayah akal itu
belumlah mencukupi untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai
tabiat suka beragama, dan dengan
akalnya dia kadang-kadang telah
sampai kepada tauhid. Akan tetapi
tauhid yang telah dicapainya dengan
akalnya itu sering pula menjadi
kabur dan tidak murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan
mempergunakan akalnya juga dapat
sampai kepada kesimpulan tentang
adanya akhirat, akan tetapi hidayah
akal itu belumlah mencukupi untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat. Maka untuk menyampaikan
manusia kepada akidah tauhid yang
murni, yang tidak dicampuri sedikit
juga oleh kepercayaan-kepercayaan
menyembah dan membesarkan
selain Allah, dan untuk
membentangkan jalan yang benar
yang akan ditempuhnya dalam
perjalanan mencari kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat dan untuk
jadi pedoman bagi hidupnya di
dunia ini, dia membutuhkan hidayah
yang lain di samping hidayah-
hidayah yang telah disebutkan itu.
Maka didatangkanlah oleh Allah
hidayah yang keempat yaitu
"agama" yang dibawa oleh para
rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena hal-hal yang disebutkan itu,
maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul
untuk membawa agama yang akan
menunjukkan kepada manusia jalan
yang harus mereka tempuh untuk
kebahagiaan mereka dunia dan
akhirat.
Adalah yang mula-mula ditanamkan
oleh rasul-rasul itu kepercayaan
tentang adanya Tuhan Yang Maha
Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, guna
membersihkan iktikad manusia dari
kotoran syirik (mempersekutukan
Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada
kepercayaan tauhid itu dengan
melalui akal dan logika, yaitu dengan
mempergunakan dalil-dalil yang
tepat dan logis. (Ingatlah kepada
soal-jawab antara Nabi Ibrahim
dengan Namruz, Nabi Musa dengan
Firaun, dan seruan-seruan Alquran
kepada kaum musyrikin Quraisy
agar mereka mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan kepada
adanya Tuhan Yang Maha Esa,
rasul-rasul juga membawa
kepercayaan tentang akhirat dan
malaikat-malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang
Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, serta adanya
malaikat dan hari kemudian itu,
itulah yang dinamakan Al-Iman bil
Gaib (percaya kepada yang gaib).
Dan itulah yang jadi pokok bagi
semua agama Ketuhanan, dengan
arti bahwa semua agama yang
datangnya dari Tuhan mempercayai
keesaan Tuhan, serta malaikat dan
hari akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-
kepercayaan) yang disebutkan itu,
rasul-rasul juga membawa hukum-
hukum, peraturan-peraturan, akhlak
dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-
peraturan ini berlain-lainan, artinya
apa yang diturunkan kepada Nabi
Ibrahim tidak sama dengan yang
diturunkan kepada Nabi Musa, dan
apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak
serupa dengan yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-
hukum dan peraturan-peraturan itu
haruslah sesuai dengan keadaan
tempat dan masa. Maka syariat
yang dibawa oleh nabi-nabi itu
adalah sesuai dengan masanya
masing-masing. Jadi yang berlain-
lainan itu ialah hukum-hukum furu`
(cabang-cabang), sedangkan pokok-
pokok hukum agama seperti akidah
adalah sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah
seorang nabi penutup maka syariat
yang dibawanya, diberi oleh Tuhan
sifat-sifat tertentu agar sesuai
dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan
kepada Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan
senjata hidup yang penghabisan,
atau jalan kebahagiaan yang
terakhir, telah dianugerahkan Tuhan,
tetapi adakah orang pandai
mempergunakan senjata itu, dan
adakah semua hamba Allah sukses
dalam menempuh jalan yang
dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia yang pandai
menerapkan agama, beribadat
(menyembah Allah) sebagai yang
diridai oleh yang disembah, bahkan
pelaksanaan syariat tidak sesuai
dengan yang dimaksud oleh
Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah
memohonkan kepada-Nya agar
diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan
dijaga-Nya selama-lamanya serta
diberi-Nya taufik agar dapat
memakai semua macam hidayah
yang telah dianugerahkan-Nya itu
menurut semestinya. Garizah-
garizah supaya dapat disalurkan ke
arah yang baik, pancaindra supaya
berfungsi betul, akal supaya sesuai
dengan yang benar, tuntunan-
tuntunan agama agar dapat
dilaksanakan menurut yang
dimaksud oleh yang menurunkan
agama itu dengan tidak ada cacat,
janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi
Tuhan bermacam-macam hidayah
yang disebutkan di atas (garizah-
garizah, pancaindra, akal dan
agama) belum dapat mencukupkan
semata-mata hidayah-hidayah itu
saja, tetapi dia masih membutuhkan
ma`unah dan bimbingan dari Allah
(yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah
yang kita mohonkan dan kepada
Allah sajalah kita hadapkan
permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah
memberi kita hidayah-hidayah
tersebut, tak ubahnya seakan-akan
Dia telah membentangkan di muka
kita jalan raya yang menyampaikan
kepada kebahagiaan hidup duniawi
dan ukhrawi, maka yang
dimohonkan kepada-Nya lagi ialah
"membimbing kita dalam menjalani
jalan yang telah terbentang itu".
Dengan ringkas hidayah dalam ayat
"ihdinassiratal mustaqim" ini berarti
"taufik" (bimbingan), dan taufik itulah
yang dimohonkan di sini kepada
Allah.
Taufik ini dimohonkan kepada Allah
sesudah kita berusaha dengan
sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar,
karena berusaha dengan sepenuh
tenaga adalah kewajiban kita, tetapi
sampai berhasil sesuatu usaha
adalah termasuk kekuasaan Allah.
Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat
ini dengan ayat yang sebelumnya.
Ayat yang sebelumnya Allah
mengajari hamba-Nya supaya
menyembah memohonkan
pertolongan kepada-Nya, sedangkan
pada ayat ini Allah menerangkan apa
yang akan dimohonkan, dan
bagaimana memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara
kedua firman Allah tersebut dan
firman Allah yang ditujukan kepada
Nabi yang berbunyi:
َكَّنِإَو يِدْهَتَل
ىَلِإ ٍطاَرِص
ٍميِقَتْسُم
Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-
benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura:
52)
Dan firman-Nya:
َكَّنِإ اَل يِدْهَت
ْنَم َتْبَبْحَأ
َّنِكَلَو َهَّللا
يِدْهَي ْنَم ُءاَشَي
Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi tetapi
Allahlah yang dapat memberi
petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat pertama, ialah
menunjukkan jalan yang harus
ditempuh, dan ini memang adalah
tugas nabi. Tetapi yang dimaksud
dengan hidayah pada ayat kedua
ialah membimbing manusia dalam
menempuh jalan itu dan
memberikan taufik agar sukses dan
berbahagia dalam perjalanannya,
dan ini tidaklah masuk dalam
kekuasaan Nabi, hanya adalah hak
Allah semata-mata.
َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
Artinya:
Jalan yang lurus (yang
menyampaikan kepada yang dituju).
(Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan
jalan lurus itu?
Di atas telah diterangkan bahwa
rasul-rasul telah membawa `aqaid
(kepercayaan-kepercayaan) hukum-
hukum, peraturan-peraturan,
akhlak, dan pelajaran-pelajaran.
Pendeknya telah membawa segala
sesuatu yang perlu untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran itulah yang
dimaksud dengan jalan lurus itu,
karena dialah yang menyampaikan
manusia kepada kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat sebagai
disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini
seakan-akan kita memohon kepada
Tuhan: "Bimbing dan beri taufiklah
kami, ya Allah dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama kami.
Betulkanlah kepercayaan kami.
Bimbing dan beri taufiklah kami
dalam melaksanakan kepercayaan
kami. Bimbing dan beri taufiklah
kami dalam melaksanakan hukum,
peraturan-peraturan, serta
pelajaran-pelajaran agama kami.
Jadikanlah kami mempunyai akhlak
yang mulia, agar berbahagia hidup
kami di dunia dan akhirat".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar