Sabtu, 29 Mei 2010

Al Baqarah 2-5

2 Kitab (Al quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa,
(QS. 2:2)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah
Al Baqarah 2
َكِلَذ ُباَتِكْلا اَل َبْيَر
ِهيِف ىًدُه َنيِقَّتُمْلِل )2 )
Ayat di atas menerangkan bahwa
Alquran ini tidak ada keraguan
padanya karena ia wahyu Allah swt.
yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw Nabi yang terakhir
dengan perantaraan Jibril a.s.
Hal ini tegaskan oleh Allah swt.
dalam firman-Nya:
ملا ُليِزْنَت ِباَتِكْلا اَل
َبْيَر ِهيِف ْنِم ِّبَر
َنيِمَلاَعْلا
Artinya:
Alif lam mim. Turunnya Alquran
yang tidak ada keraguan padanya
(adalah) dari Tuhan semesta alam.
(Q.S As Sajadah: 1 dan 2)
Yang dimaksud "Al Kitab" di sini
ialah Alquran . Disebut "Al Kitab."
sebagai isyarat bahwa Alquran
harus ditulis, karena itu Nabi
Muhammad saw. memerintahkan
para sahabat menulis ayat-ayat
Alquran
Alquran ini bimbingan bagi orang-
orang bertakwa, sehingga ia
berbahagia hidup di dunia dan di
akhirat nanti.
Orang-orang yang bertakwa ialah
orang-orang yang memelihara dan
menjaga dirinya dari azab Allah
dengan selalu melaksanakan
perintah-perintah Allah swt. dan
menghentikan larangan-larangan-
Nya.
Di antara tanda-tanda orang yang
bertakwa ialah sebagaimana yang
tersebut pada ayat-ayat berikut:
3 (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada
mereka. (QS. 2:3)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah
Al Baqarah 3
َنيِذَّلا َنوُنِمْؤُي
ِبْيَغْلاِب َنوُميِقُيَو
َةاَلَّصلا اَّمِمَو
ْمُهاَنْقَزَر َنوُقِفْنُي )3 )
Pertama : Beriman kepada yang
gaib. Termasuk di dalamnya
beriman kepada Allah dengan
sesungguhnya, menundukkan diri
serta menyerahkannya sesuai
dengan yang diharuskan oleh iman
itu. Tanda keimanan seseorang,
ialah melaksanakan semua yang
diperintahkan oleh imannya itu.
Yang gaib, ialah sesuatu yang tidak
dapat dicapai oleh pancaindra.
Pengetahuan tentang yang gaib itu
semata-mata berdasar kepada
petunjuk-petunjuk Allah swt. Karena
kita telah beriman kepada Allah,
maka kita beriman pula kepada
firman-firman dan petunjuk-
petunjuk-Nya Termasuk yang gaib
ialah : Allah, Malaikat, hari kiamat,
surga, neraka, mahsyar dan
sebagainya.
Pangkal iman kepada yang gaib ialah
iman kepada Allah swt. Iman
kepada Allah adalah dasar dari
pembentukan watak dan sifat-sifat
seseorang manusia agar ia menjadi
manusia yang sebenarnya, sesuai
dengan maksud Allah menciptakan
manusia.
Allah swt. berfirman:
َةَغْبِص ِهَّللا ْنَمَو
ُنَسْحَأ َنِم ِهَّللا
ًةَغْبِص ُنْحَنَو ُهَل
َنوُدِباَع
Artinya:
Sibghah Allah. Siapakah yang lebih
baik sibgahnya dari Allah ? Kepada-
Nyalah kami menyembah. (Q.S Al
Baqarah: 138)
Iman membentuk manusia menjadi
makhluk individu dan makhluk yang
jadi anggota masyarakatnya, suka
memberi, menolong, berkorban,
berjihad dan sebagainya.
Allah swt. berfirman:
اَمَّنِإ َنوُنِمْؤُمْلا
َنيِذَّلا اوُنَمآ ِهَّللاِب
ِهِلوُسَرَو َّمُث ْمَل
اوُباَتْرَي اوُدَهاَجَو
ْمِهِلاَوْمَأِب
ْمِهِسُفْنَأَو يِف ِليِبَس
ِهَّللا َكِئَلوُأ ُمُه
َنوُقِداَّصلا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang
sebenarnya beriman hanyalah
orang orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar. (Q.S
Al Hujurat: 15)
Dalam mencari arti iman itu
hendaklah mempelajari sejarah
hidup Nabi Muhammad saw,
merenungkan ciptaan Allah,
menggunakan akal pikiran dan
mempelajari ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
Iman dapat bertambah dan dapat
pula berkurang. Iman akan rusak
bila amal seseorang rusak dan akan
bertambah bila nilai dan jumlah
amal ditingkatkan
Kedua: Mendirikan salat ialah,
mengerjakan dan menunaikan salat
dengan menyempurnakan rukun-
rukun dan syarat-syaratnya, terus-
menerus mengerjakannya sesuai
dengan yang diperintahkan Allah,
baik lahir maupun batin. Yang
dimaksud dengan lahir ialah
mengerjakan salat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah
ditentukan sunah Rasul dan yang
dimaksud dengan "batin" ialah
mengerjakan salat dengan hati,
dengan segala ketundukan dan
kepatuhan kepada Allah karena
merasakan keagungan dan
kekuasaan Allah yang menguasai
dan menciptakan seluruh alam ini
sebagai yang dikehendaki oleh
agama.
Yang dimaksud "Iqamatussalah"
ialah mengerjakan salat dengan
sempurna; sempurna rukun-rukun,
syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan yang lain yang ditentukan
oleh agama.
Arti asal dari perkataan "salat" ialah
"doa", kemudian dipakai sebagai
istilah yang berarti "salat" sebagai
ibadat yang telah terkenal di dalam
agama Islam karena salat itu banyak
mengandung doa.
Ketiga: Menafkahkan sebahagian
rezeki yang telah dianugerahkan
Allah. "Rezeki" ialah segala sesuatu
yang dapat diambil manfaatnya.
"Menafkahkan sebahagian rezeki"
ialah memberikan sebahagian rezeki
atau harta yang telah direzekikan
Allah kepada orang-orang yang
telah ditentukan oleh agama.
Harta yang akan dinafkahkan itu
ialah sebahagiannya, tidak seluruh
harta. Dalam ayat ini tidak
disebutkan berapa banyak yang
dimaksud dengan sebahagian itu,
apakah seperdua, sepertiga,
seperempat dan sebagainya.
Dalam pada itu Allah melarang
berlaku kikir dan melarang berlaku
boros:
Firman Allah swt:
اَلَو ْلَعْجَت َكَدَي
ًةَلوُلْغَم ىَلِإ َكِقُنُع
اَلَو اَهْطُسْبَت َّلُك
ِطْسَبْلا َدُعْقَتَف
اًموُلَم اًروُسْحَم
Artinya:
Janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu,
sebaliknya janganlah kamu terlalu
mengulurkannya, agar kamu tidak
menjadi tercela dan menyesal. (Q.S
Al Isra': 29)
Dan Allah menyuruh agar jangan
berlebih-lebihan dalam
membelanjakan harta dan jangan
pula kikir. Firman-Nya:
َنيِذَّلاَو اَذِإ اوُقَفْنَأ
ْمَل اوُفِرْسُي ْمَلَو
اوُرُتْقَي َناَكَو َنْيَب
َكِلَذ اًماَوَق
Artinya:
Orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta) mereka tidak
berlebih-lebihan, tidak (pula) kikir tapi
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian . (Q.S
Al Furqan: 67)
Pada firman Allah yang lain
dijelaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan sebahagian
harta itu ialah:
َكَنوُلَأْسَيَو اَذاَم
َنوُقِفْنُي ِلُق َوْفَعْلا
Artinya:
....mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah,
"Yang lebih baik dari keperluan".
(Q.S Al Baqarah: 219)
Allah telah menjelaskan cara-cara
membelanjakan harta itu dan cara-
cara menggunakannya. Dan
dijelaskan lagi oleh hadis-hadis
Rasulullah saw:
نع ىبنلا ىلص هللا هيلع ملسو
لاق: أدباو نمب لوعت، ريخ ةقدصلا
نع رهظ ىنغلا
Artinya:
Nabi saw. telah bersabda, "Mulailah
dari orang-orang yang dekat
denganmu, sedekah yang paling
baik ialah sedekah dari orang
kaya" (H.R Bukhari dan Muslim)
4 Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.(QS. 2:4)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah
Al Baqarah 4
َنيِذَّلاَو َنوُنِمْؤُي
اَمِب َلِزْنُأ َكْيَلِإ اَمَو
َلِزْنُأ ْنِم َكِلْبَق
ِةَرِخآْلاِبَو ْمُه
َنوُنِقوُي )4 )
Keempat: Beriman kepada kitab-kitab
yang telah diturunkan-Nya, yaitu
beriman kepada Alquran dan kepada
kitab-kitab yaitu Taurat, Zabur, Injil
dan sahifah-sahifah yang diturunkan
kepada nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. Beriman kepada
Kitab-kitab dan sahifah-sahifah
tersebut berarti beriman pula kepada
para rasul yang telah diutus Allah
kepada umat-umat yang dahulu
dengan tidak membedakan antara
seseorang pun dengan yang lain
dari rasul-rasul Allah itu.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah
merupakan salah satu sifat dari
orang-orang yang bertakwa, yaitu
orang-orang yang beriman, waris-
waris para nabi. waris ajaran-ajaran
Allah baik orang-orang dahulu,
maupun orang-orang sekarang
sampai akhir zaman. Sifat ini akan
menimbulkan rasa dalam diri
seseorang muslim bahwa mereka
adalah umat yang satu, agama
mereka adalah satu yaitu agama
Islam. Tuhan yang mereka sembah
ialah Tuhan Yang Maha Esa,
Pengasih lagi Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya. Sifat ini akan
menghilangkan dalam diri
seseorang muslim, semua sifat
menyombongkan diri, rasa
golongan, rasa kedaerahan dan
perasaan kebangsaan yang berlebih
lebihan.
5 Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari
Tuhannya, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.
(QS. 2:5)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah
Al Baqarah 5
َكِئَلوُأ ىَلَع ىًدُه ْنِم
ْمِهِّبَر َكِئَلوُأَو ُمُه
َنوُحِلْفُمْلا )5 )
Kelima: Beriman kepada adanya hari
akhirat. Akhirat lawan dari "dunia".
"Negeri akhirat" ialah Negeri tempat
manusia berada setelah dunia ini
lenyap. "Yakni akan adanya negeri
akhirat" ialah benar-benar percaya
adanya hidup yang kedua setelah
dunia ini berakhir.
Orang-orang yang mempunyai
sifat-sifat yang lima (5) di atas adalah
orang orang yang mendapat
petunjuk dan bimbingan Allah swt.
dan merekalah orang-orang yang
akan merasakan hasil iman dan
amal mereka di akhirat nanti,
mereka memperoleh keridaan Allah
dan tempat tinggal mereka di akhirat
ialah di surga yang penuh
kenikmatan.

Jumat, 28 Mei 2010

Al Baqarah 1

1 Alif laam miim.(QS. 2:1)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah
Al Baqarah 1
ملا )1 )
Alif, lam, mim, termasuk huruf-
huruf abjad yang terletak pada
permulaan beberapa surah Alquran.
Ada dua hal yang perlu dibicarakan
tentang huruf-huruf abjad yang
disebutkan pada permulaan
beberapa surah dari Alquranul
Karim itu, yaitu apa yang dimaksud
dengan huruf ini, dan apa
hikmahnya menyebutkan huruf-
huruf ini?
Tentang soal pertama, maka para
mufassir berlainan pendapat, yaitu:
1.Ada yang menyerahkan saja
kepada Allah, dengan arti mereka
tidak mau menafsirkan huruf-huruf
itu. Mereka berkata, "Allah sajalah
yang mengetahui maksudnya."
Mereka menggolongkan huruf-huruf
itu ke dalam golongan ayat-ayat
mutasyabihat.
2.Ada yang menafsirkannya.
Mufassirin yang menafsirkannya ini
berlain-lain pula pendapat mereka,
yaitu:
a.Ada yang berpendapat bahwa
huruf-huruf itu adalah isyarat
(keringkasan dari kata-kata),
umpamanya Alif Lam Mim. Maka
"Alif" adalah keringkasan dari "Allah",
"Lam" keringkasan dari "Jibril", dan
"Mim" keringkasan dari Muhammad,
yang berarti bahwa Alquran itu
datangnya dari Allah, disampaikan
oleh Jibril kepada Muhammad. Pada
Alif Lam Ra; "Alif" keringkasan dari
"Ana", "Lam" keringkasan dari
"Allah" dan "Ra" keringkasan dari
"Ar-Rahman", yang berarti: Saya
Allah Yang Maha Pemurah.
b.Ada yang berpendapat bahwa
huruf-huruf itu adalah nama dari
surah yang dimulai dengan huruf-
huruf itu.
c.Ada yang berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan huruf-huruf
abjad ini adalah huruf-huruf abjad
itu sendiri. Maka yang dimaksud
dengan "Alif" adalah "Alif", yang
dimaksud dengan "Lam" adalah
"Lam", yang dimaksud dengan
"Mim" adalah "Mim", dan begitu
seterusnya.
d.Huruf-huruf abjad itu untuk
menarik perhatian.
Menurut para mufassir ini, huruf-
huruf abjad itu disebut Allah pada
permulaan beberapa surah dari
Alquranul Karim, hikmahnya adalah
untuk "menantang". Tantangan itu
bunyinya kira-kira begini: Alquran itu
diturunkan dalam bahasa Arab,
yaitu bahasa kamu sendiri, yang
tersusun dari huruf-huruf abjad,
seperti Alif Lam Mim Ra, Ka Ha Ya
Ain Shad, Qaf, Tha Sin dan lain-
lainnya. Maka kalau kamu sekalian
tidak percaya bahwa Alquran ini
datangnya dari Allah dan kamu
mendakwakan datangnya dari
Muhammad, yakni dibuat oleh
Muhammad sendiri, maka cobalah
kamu buat ayat-ayat yang seperti
ayat Alquran ini. Kalau Muhammad
dapat membuatnya tentu kamu
juga dapat membuatnya."
Maka ada "penantang", yaitu Allah,
dan ada "yang ditantang", yaitu
bahasa Arab, dan ada "alat
penantang", yaitu Alquran.
Sekalipun mereka adalah orang-
orang yang fasih berbahasa Arab,
dan mengetahui pula seluk-beluk
bahasa Arab itu menurut naluri
mereka, karena di antara mereka itu
adalah pujangga-pujangga, penyair-
penyair dan ahli-ahli pidato, namun
demikian mereka tidak bisa
menjawab tantangan Alquran itu
dengan membuat ayat-ayat seperti
Alquran. Ada juga di antara mereka
yang memberanikan diri untuk
menjawab tantangan Alquran itu,
dengan mencoba membuat kalimat-
kalimat seperti ayat-ayat Alquran itu,
tetapi sebelum mereka ditertawakan
oleh orang-orang Arab itu, lebih
dahulu mereka telah ditertawakan
oleh diri mereka sendiri.
Para mufassir dari golongan ini,
yakni yang berpendapat bahwa
huruf-huruf abjad itu disebut oleh
Allah pada permulaan beberapa
surah dari Alquran untuk
menantang bangsa Arab itu, mereka
sampai kepada pendapat itu adalah
dengan "istiqra" artinya menyelidiki
masing-masing surah yang dimulai
dengan huruf-huruf abjad itu.
Dengan penyelidikan itu mereka
mendapat fakta-fakta sebagai
berikut:
1.Surah-surah yang dimulai dengan
huruf-huruf abjad ini adalah surah-
surah Makiyah (diturunkan di
Mekah), selain dari dua buah surah
saja yang Madaniyah (diturunkan di
Madinah), yaitu surah Al-Baqarah
yang dimulai dengan Alif Lam Mim
dan surah Ali Imran yang dimulai
dengan Alif Lam Mim juga. Sedang
penduduk Mekah itulah yang tidak
percaya bahwa Alquran itu adalah
dari Tuhan, dan mereka
mendakwakan bahwa Alquran itu
buatan Muhammad semata-mata.
2.Sesudah menyebutkan huruf-
huruf abjad itu ditegaskan bahwa
Alquran itu diturunkan dari Allah,
atau diwahyukan oleh-Nya.
Penegasan itu disebutkan oleh Allah
secara langsung atau tidak
langsung. Hanya ada 9 surah yang
dimulai dengan huruf-huruf abjad
itu yang tidak disebutkan
sesudahnya penegasan bahwa
Alquran itu diturunkan dari Allah.
3.Huruf-huruf abjad yang
disebutkan itu adalah huruf-huruf
abjad yang banyak terpakai dalam
bahasa Arab.
Dari ketiga fakta yang didapat dari
penyelidikan itu, mereka
menyimpulkan bahwa huruf-huruf
abjad itu didatangkan oleh Allah
pada permulaan beberapa surah
dari Alquranul Karim itu adalah
untuk "menantang" bangsa Arab
agar membuat ayat-ayat seperti
ayat-ayat Alquran itu, bila mereka
tidak percaya bahwa Alquran itu,
datangnya dari Allah dan
mendakwakan bahwa Alquran itu
buatan Muhammad semata-mata
sebagai yang disebutkan di atas.
Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa para mufassir yang
mengatakan bahwa huruf-huruf
abjad ini didatangkan Allah untuk
"tahaddi" (menantang) adalah
memakai tariqah (metode) ilmiah,
yaitu "menyelidiki dari contoh-
contoh, lalu menyimpulkan
daripadanya yang umum". Tariqah
ini disebut "Ath-Thariqat Al-
Istiqra'iyah" (metode induksi).
Ada mufassir yang berpendapat
bahwa huruf-huruf abjad ini
didatangkan oleh Allah pada
permulaan beberapa surah-surah
Alquranul Karim untuk menarik
perhatian. Memulai pembicaraan
dengan huruf-huruf abjad adalah
suatu cara yang belum dikenal oleh
bangsa Arab di waktu itu, karena itu
maka hal ini menarik perhatian
mereka.
Tinjauan terhadap pendapat-
pendapat ini:
1.Pendapat yang pertama yaitu
menyerahkan saja kepada Allah
karena Allah sajalah yang
mengetahui, tidak diterima oleh
kebanyakan mufassirin ahli-ahli
tahqiq (yang menyelidiki secara
mendalam). (Lihat Tafsir Al-Qasimi
j.2, hal. 32)
Alasan-alasan mereka ialah:
a.Allah sendiri telah berfirman dalam
Alquran:
ٍناَسِلِب ٍّيِبَرَع ٍنيِبُم
) 195 )
Artinya:
Dengan bahasa Arab yang jelas.
(Q.S. Asy Syu'ara': 195)
Maksudnya Alquran itu dibawa oleh
Jibril kepada Muhammad dalam
bahasa Arab yang jelas. Dari ayat ini
dapat dipahami bahwa ayat-ayat
dalam Alquran itu adalah "jelas", tak
ada yang tidak jelas, yang tak dapat
dipahami atau dipikirkan, yang
hanya Allah saja yang
mengetahuinya.
b.Di dalam Alquran ada ayat-ayat
yang menunjukkan bahwa Alquran
itu menjadi petunjuk bagi manusia.
Di antaranya firman Allah:
َكِلَذ ُباَتِكْلا اَل َبْيَر
ِهيِف ىًدُه َنيِقَّتُمْلِل )2 )
Artinya:
Kitab Alquran ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka
yang bertakwa.
(Q.S. Al-Baqarah: 2)
Firman-Nya lagi:
ىًدُهَو ىَرْشُبَو
َنيِنِمْؤُمْلِل
Artinya:
....dan menjadi petunjuk serta berita
gembira bagi orang-orang yang
beriman.
(Q.S. Al-Baqarah: 97)
Firman-Nya lagi:
اَذَه ٌناَيَب ِساَّنلِل
ىًدُهَو ٌةَظِعْوَمَو
َنيِقَّتُمْلِل )138 )
Artinya:
(Alquran) ini adalah penerangan bagi
seluruh manusia dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa.
(Q.S. Ali Imran: 138)
Dan banyak lagi ayat-ayat yang
menerangkan bahwa Alquran itu
adalah petunjuk bagi manusia.
Sesuatu yang fungsinya menjadi
"petunjuk" tentu harus jelas dan
dapat dipahami. Hal-hal yang tidak
jelas tentu tidak dijadikan petunjuk.
c. Dalam ayat yang lain Allah
berfirman pula:
ْدَقَلَو اَنْرَّسَي
َنآْرُقْلا ِرْكِّذلِل ْلَهَف
ْنِم ٍرِكَّدُم )17 )
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami
mudahkan Alquran untuk pelajaran,
maka adakah orang yang mau
mengambil pelajaran?
(Q.S. Al-Qamar: 17, 22, 32, dan 40)
2.
a.Pendapat yang menafsirkan
bahwa huruf-huruf abjad itu adalah
keringkasan dari suatu kalimat.
Pendapat ini juga banyak para
mufassir yang tidak dapat
menerimanya.
Keberatan mereka ialah: tidak ada
kaidah-kaidah atau patokan-patokan
yang tertentu untuk ini, sebab itu
para mufassir yang berpendapat
demikian berlain-lainan pendapatnya
dalam menentukan kalimat-kalimat
itu. Maka di samping pendapat
mereka bahwa Alif Lam Mim artinya
ialah: Allah, Jibril, Muhammad, ada
pula yang mengartikan "Allah,
Latifun, Maujud" (Allah Maha Halus
lagi Ada). (Dr. Mahmud Syaltut,
Tafsir al Qur'anul Karim, hal. 73)
b.Pendapat yang menafsirkan
bahwa huruf-huruf abjad yang
terdapat pada permulaan beberapa
surah ini adalah nama surah, juga
banyak pula para mufassir yang
tidak dapat menerimanya. Alasan
mereka ialah: bahwa surah-surah
yang dimulai dengan huruf-huruf itu
kebanyakannya adalah mempunyai
nama yang lain, dan nama yang lain
itulah yang terpakai. Umpamanya
surah Al-Baqarah, Ali Imran,
Maryam dan lain-lain. Maka kalau
betul huruf-huruf itu adalah nama
surah, tentu nama-nama itulah yang
akan dipakai oleh para sahabat
Rasulullah dan kaum muslimin sejak
dari dahulu sampai sekarang.
Hanya ada empat buah surah yang
sampai sekarang tetap dinamai
dengan huruf-huruf abjad yang
terdapat pada permulaan surah-
surah itu, yaitu: Surah Thaha, surah
Yasin, surah Shad dan surah Qaf.
(Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al
Qur'anul Karim, hal. 73)
c.Pendapat yang menafsirkan
bahwa yang dimaksud dengan
huruf-huruf abjad itu sendiri, dan
abjad-abjad ini didatangkan oleh
Allah ialah untuk
"menantang" (tahaddi). Inilah yang
dipegang oleh sebahagian
mufassirin ahli tahqiq. (Di antaranya:
Az Zamakhsyari, Al Baidawi, Ibnu
Taimiah, dan Hafizh Al Mizzi, lihat
Rasyid Rida, Tafsir Al Manar jilid 8,
hal. 303 dan Dr Shubhi As Salih,
Mabahis Ulumi Qur'an, hal 235.
Menurut An Nasafi: pendapat bahwa
huruf abjad ini adalah untuk
menantang patut diterima. Lihat
Tafsir An Nasafi, hal. 9)
d.Pendapat yang menafsirkan
bahwa huruf-huruf abjad ini adalah
untuk "menarik perhatian" (tanbih)
pendapat ini juga diterima oleh ahli
tahqiq. (Tafsir Al Manar jilid 8 hal.
209-303)
Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa "yang dimaksud
dengan huruf-huruf abjad yang
disebutkan oleh Allah pada
permulaan beberapa surat dari
Alquran hikmahnya adalah untuk
"menantang" bangsa Arab serta
menghadapkan perhatian manusia
kepada ayat-ayat yang akan
dibacakan oleh Nabi Muhammad
saw."

Rabu, 26 Mei 2010

Al fatihah 7

7 (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.(QS.
1:7)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 7
َطاَرِص َنيِذَّلا
َتْمَعْنَأ
ْمِهْيَلَع ِرْيَغ
ِبوُضْغَمْلا
ْمِهْيَلَع اَلَو
َنيِّلاَّضلا )7(
Setelah Allah swt. mengajarkan
kepada hamba-Nya untuk
memohonkan kepada Allah agar
selalu dibimbing-Nya menuju jalan
yang lurus dan benar, maka pada
ayat ini Tuhan menerangkan apa
jalan yang lurus itu.
Sebelum Alquranul Karim
diturunkan, Tuhan telah
menurunkan kitab-kitab suci-Nya
yang lain, dan sebelum Nabi
Muhammad diutus Allah telah
mengutus rasul-rasul, karena
sebelum umat yang sekarang ini
telah banyak umat terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu
itu terdapat nabi-nabi, siddiqin yang
membenarkan rasul-rasul dengan
jujur dan patuh, syuhada yang telah
mengorbankan jiwa dan harta untuk
kemuliaan agama Allah, dan orang-
orang saleh yang telah membuat
kebajikan dan menjauhi larangan
Allah.
Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi nikmat oleh Allah, dan
kita diajar Tuhan supaya
memohonkan kepada-Nya, agar
diberi-Nya taufik dan bimbingan
sebagaimana Dia telah memberi
taufik dan membimbing mereka.
Artinya sebagaimana mereka telah
berbahagia dalam aqaid, dan dalam
menjalankan hukum-hukum serta
peraturan-peraturan agama, mereka
telah mempunyai akhlak dan budi
pekerti yang mulia, maka demikian
pulalah kita hendaknya. Dengan
perkataan lain, Allah menyuruh kita
supaya mengambil contoh dan
tauladan kepada mereka yang telah
terdahulu itu.
Timbul pertanyaan kenapakah
Tuhan menyuruh kita mengikuti
jalan mereka yang telah terdahulu
itu, padahal dalam agama kita ada
pelajaran-pelajaran hukum,
petunjuk-petunjuk yang tak ada
pada mereka?
Jawabnya: Sebetulnya agama Allah
itu adalah satu, kendatipun ada
perbedaannya, tetapi perbedaan itu
ialah pada furu'-furu`nya, sedang
pokok-pokoknya adalah serupa
sebagai disebutkan di atas.
Sebagaimana di dalam umat-umat
yang telah terdahulu itu terdapat
orang-orang yang telah diberi
nikmat oleh Tuhan, maka terdapat
pula di antara mereka orang-orang
yang dimurkai Allah dan orang-
orang yang sesat.
Orang yang dimurkai Allah itu ialah
mereka yang tak mau menerima
seruan Allah yang disampaikan oleh
rasul-rasul, karena berlainan dengan
apa yang mereka biasakan, atau
karena tidak sesuai dengan hawa
nafsu mereka, kendatipun telah jelas
bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul
itulah yang benar. Masuk juga
dalam golongan ini, mereka yang
mulanya telah menerima apa yang
disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi
kemudian lantaran sesuatu sebab
mereka membelot, dan
membelakangi pelajaran-pelajaran
yang dibawa oleh rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan
orang-orang yang dimurkai Tuhan
itu, sejak di dunia ini mereka telah
diazab, sebagai balasan yang
setimpal bagi keingkaran dan sifat
angkara murka mereka.
Umpamanya kaum `Ad dan Samud
yang telah dibinasakan oleh Allah,
yang sampai sekarang masih ada
bekas-bekas peninggalan mereka di
Jazirah Arab. Begitu juga Firaun dan
kaumnya yang telah dibinasakan
Tuhan di Laut Merah. Mumi Firaun
yaitu bangkainya telah dibalsem
sampai sekarang masih ada
disimpan dalam museum Mesir.
Adapun orang-orang yang sesat,
ialah mereka yang tidak betul
kepercayaannya, atau tidak betul
pekerjaan dan amal ibadahnya serta
rusak budi pekertinya.
Bila akidah seseorang tidak betul lagi,
atau pekerjaan dan amal ibadahnya
salah, dan akhlaknya telah rusak
akan celakalah dia dan kalau sesuatu
bangsa berkeadaan demikian akan
jatuhlah bangsa itu.
Maka dengan ayat ini Allah
mengajari hamba-Nya supaya
memohonkan kepada-Nya agar
terjauh dari kemurkaan-Nya, dan
terhindar dari kesesatan, dan di
dalamnya juga tersimpul suruhan
Allah supaya manusia mengambil
pelajaran dari sejarah bangsa-
bangsa yang telah terdahulu.
Alangkah banyaknya dalam sejarah
itu kejadian-kejadian yang dapat
dijadikan iktibar dan pelajaran.
Dalam pada itu di dalam Alquranul
Karim sendiri banyak ayat-ayat yang
berkenaan dengan umat dan
bangsa-bangsa yang dahulu. Boleh
dibilang 75% isi Alquran adalah
kisah dan cerita. Memang tak ada
suatu juga yang lebih besar
pengaruhnya kepada jiwa manusia
daripada contoh-contoh dan
perbandingan-perbandingan yang
terdapat dalam cerita-cerita, kisah-
kisah dan sejarah.

Selasa, 25 Mei 2010

Al fatihah 6

6 Tunjukilah kami jalan yang
lurus,(QS. 1:6)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 6
اَنِدْها َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
"Ihdi": Pimpinlah, tunjukilah, berilah
hidayah
Arti "hidayah" ialah: Menunjukkan
sesuatu jalan atau cara
menyampaikan orang kepada orang
yang ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia
bermacam-macam hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia begitu juga binatang-
binatang, dilengkapi oleh Allah
dengan bermacam-macam sifat,
yang timbulnya bukanlah dari
pelajaran, bukan pula dari
pengalaman, melainkan telah
dibawanya dari kandungan ibunya.
Sifat-sifat ini namanya "naluri",
dalam bahasa Arab disebut
"garizah".
Umpamanya, naluri "ingin
memelihara diri" (mempertahankan
hidup). Kelihatan oleh kita seorang
bayi bila merasa lapar dia menangis.
Sesudah terasa di bibirnya mata
susu ibunya, dihisapnyalah sampai
hilang laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak
seorang juga yang mengajarkan
kepadanya, bukan pula timbul dari
pengalamannya, hanyalah semata-
mata ilham dan petunjuk dari Allah
kepadanya untuk mempertahankan
hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah
membuat sarangnya, laba-laba
membuat jaringnya, semut
membuat lobangnya dan
menimbun makanan dalam lubang
itu. Semua itu dikerjakan oleh
binatang-binatang tersebut ialah
untuk mempertahankan hidupnya
dan memelihara dirinya masing-
masing dengan dorongan nalurinya
semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain,
umpamanya garizah ingin tahu,
ingin mempunyai, ingin berlomba-
lomba, ingin bermain, ingin meniru,
takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu sebagai
disebutkan terdapat pada manusia
dan binatang, hanya perbedaannya
ialah garizah manusia bisa
menerima pendidikan dan
perbaikan, tetapi garizah binatang
tidak, sebab itulah manusia bisa
maju tetapi binatang tidak, hanya
tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah itu adalah dasar bagi
kebaikan sebagaimana dia pun juga
dasar bagi kejahatan. Umpamanya
karena garizah ingin memelihara
diri, orang berusaha, berniaga,
bertani, artinya mencari nafkah
secara halal. Tetapi karena garizah
"ingin memelihara diri" itu pulalah
orang mencuri, menipu, merampok
dan lain-lain. Karena garizah "ingin
tahu" pulalah orang suka mencari-
cari aib dan rahasia sesamanya,
yang mengakibatkan permusuhan
dan persengketaan. Demikianlah
seterusnya dengan garizah-garizah
yang lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat
dihilangkan dan tidak ada faedahnya
membunuhnya. Ada ahli pikir dan
pendidik yang hendak
memadamkan garizah karena
melihat seginya yang tidak baik
(jahat) itu, sebab itu diadakan oleh
mereka macam-macam peraturan
untuk mengikat kemerdekaan anak-
anak supaya garizah itu jangan
tumbuh, atau mana yang telah
tumbuh menjadi mati. Tetapi
perbuatan mereka itu besar
bahayanya terhadap pertumbuhan
akal, tubuh dan akhlak anak-anak.
Dan bagaimanapun orang berusaha
hendak membunuh garizah itu,
namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan
dan kuatnya rintangan terhadap
sesuatu garizah, maka kelihatan dia
telah padam tetapi manakala ada
yang membangkitkannya, timbullah
dia kembali. Oleh karena itu
kendatipun garizah itu dasar bagi
kebaikan, sebagaimana dia juga
dasar bagi kejahatan, tetapi
kewajiban manusia bukanlah
menghilangkannya, hanya mendidik
dan melatihnya, supaya dapat
dimanfaatkan dan disalurkan ke arah
yang baik.
Allah telah menganugerahkan
kepada manusia bermacam-macam
garizah untuk jadi hidayah
(petunjuk) yang akan dipakai dengan
cara bijaksana oleh manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu sifatnya belum
pasti sebagai disebutkan di atas,
maka ia belum cukup untuk jadi
hidayah bagi kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat.
Sebab itu oleh Allah swt. manusia
dilengkapi lagi dengan pancaindra.
Pancaindra itu sangat besar
harganya terhadap pertumbuhan
akal dan pikiran manusia, sebab itu
ahli-ahli pendidikan berkata:
ساوحلا باوبأ ةفرعملا
Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu
pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan
pancaindra itulah manusia dapat
berhubungan dengan alam yang di
luar, dengan arti bahwa sampainya
sesuatu dari alam yang di luar ini ke
dalam otak manusia adalah pintu-
pintu pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan
pancaindra, juga belum cukup lagi
untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan
manusia. Banyak lagi benda-benda
dalam alam ini yang tidak dapat
dilihat oleh mata. Banyak macam
suara yang tidak dapat didengar
oleh telinga. Malah selain dari alam
mahsusat (yang dapat ditangkap
oleh pancaindra), ada lagi alam
ma'qulat (yang hanya dapat
ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya
dapat menangkap alam mahsusat,
tangkapannya tentang yang
mahsusat itupun tidak selamanya
betul, kadang-kadang salah. Inilah
yang dinamakan dalam ilmu jiwa
"illusi optik" (tiupan pandangan),
dalam bahasa Arab disebut,
"khida'an nazar". Sebab itu manusia
membutuhkan lagi hidayah yang
kedua itu. Maka dianugerahkan lagi
oleh Allah hidayah yang ketiga, yaitu
"hidayah akal".
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal itu dapatlah
manusia menyalurkan garizah ke
arah yang baik agar garizah itu
menjadi pokok bagi kebaikan, dan
dapatlah manusia membetulkan
kesalahan-kesalahan pancaindranya,
membedakan buruk dengan baik.
Malah sangguplah dia menyusun
mukadimah untuk
menyampaikannya kepada natijah,
mempertalikan akibat dengan sebab,
memakai yang mahsusat sebagai
tangga kepada yang ma'qulat,
mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasai untuk
menyampaikannya kepada yang
abstrak, maknawi dan gaib,
mengambil dalil dari adanya
makhluk untuk adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi
memadai untuk membawanya
kepada kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat di samping berbagai
macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal itu
bermacam-macam, yang baik
menurut pikiran si A belum tentu
baik menurut pandangan si B,
malah banyak manusia yang masih
mempergunakan akalnya, atau
akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu
dan sentimennya. Hingga yang
buruk itu menjadi baik dalam
pandangannya dan yang baik itu
menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa
garizah ditambah dengan
pancaindra ditambah pula dengan
akal belum lagi cukup untuk menjadi
hidayah yang akan menyampaikan
manusia kepada kebahagiaan hidup
jasmani dan rohani, di dunia dan
akhirat.
Oleh karena itu manusia
membutuhkan suatu hidayah lagi, di
samping pancaindra dan akalnya itu,
yaitu hidayah agama yang dibawa
oleh para rasul `alaihimus shalatu
wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid
pada jiwa manusia
Dalam pada itu kalau diperhatikan
agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan yang diciptakan oleh
manusia (Al-Adyan Al-Wad'iyyah)
kelihatan pada jiwa manusia telah
ada bibit-bibit suka beragama. Yang
demikian itu karena manusia itu
mempunyai sifat merasa berhutang
budi suka berterima kasih dan
membalas budi kepada orang yang
berbuat baik kepadanya. Maka di
kala diperhatikan dirinya dan alam
yang di sekelilingnya, umpamanya
roti yang dimakannya, tumbuh-
tumbuhan yang ditanamnya,
binatang ternak yang
digembalakannya, matahari yang
memancarkan sinarnya, hujan yang
turun dari langit yang
menumbuhkan tanam-tanaman,
akan merasa berutang budilah dia
kepada "suatu Zat" yang gaib yang
telah berbuat baik dan melimpahkan
nikmat yang besar itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan akalnya
bahwa Zat yang gaib itulah yang
menciptakannya, yang
menganugerahkan kepadanya dan
kepada jenis manusia seluruhnya,
segala sesuatu yang ada di alam ini,
segala sesuatu yang dibutuhkannya
untuk memelihara diri dan
mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi
kepada suatu Zat Yang Gaib itu,
maka dipikirkannyalah bagaimana
cara berterima kasih dan membalas
budi itu, atau dengan perkataan lain
bagaimana cara "menyembah Zat
Yang Gaib itu".
Akan tetapi masalah bagaimana cara
menyembah Zat Yang Gaib itu,
adalah suatu masalah yang sukar,
yang tidak dapat dicapai oleh akal
manusia. Sebab itu di dalam sejarah
kelihatan bahwa tidak pernah
adanya keseragaman dalam hal ini.
Bahkan akal pikirannya akan
membawanya kepada kepercayaan
membesarkan alam di samping
membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja
dan karena belum dapat dia
menggambarkan di otaknya
bagaimana menyembah "Zat Yang
Gaib", maka dipilihlah di antara alam
ini sesuatu yang besar, atau yang
indah, atau yang banyak
manfaatnya, atau sesuatu yang
ditakutinya untuk jadi pelambang
bagi Zat Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari,
bulan dan bintang-bintang, atau
sungai-sungai, binatang dan lain-
lain, maka disembahnyalah benda-
benda itu, sebagai lambang bagi
menyembah Tuhan atau Zat Yang
Gaib itu, dan diciptakannyalah cara-
cara beribadah (menyembah)
benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu
macam kepercayaan, yang
dinamakan "Kepercayaan
menyembah kekuatan alam",
sebagai yang terdapat di Mesir,
Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di
tempat-tempat lain di zaman
purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah
bahwa manusia menurut fitrahnya
suka beragama, suka memikirkan
dari mana datangnya alam ini, dan
ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana
datangnya alam ini, akan sampailah
dia pada keyakinan tentang adanya
Tuhan, bahkan akan sampailah dia
kepada keyakinan tentang keesaan
Tuhan itu (tauhid), karena akidah
(keyakinan) tentang keesaan inilah
yang lebih mudah, dan lebih lekas
dipahami oleh akal manusia. Karena
itu dapatlah kita tegaskan bahwa
manusia itu menurut nalurinya
adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa
bangsa Kaldania pada mulanya
adalah beragama tauhid, barulah
kemudian mereka menyembah
matahari, planet- planet dan
bintang-bintang yang mereka
simbolkan dengan patung-patung.
Sesudah Raja Namruz meninggal,
mereka pun mendewakan dan
menyembah Namruz itu. Bangsa
Assyiria pun pada asalnya
beragama tauhid, kemudian mereka
telah lupa kepada akidah tauhid itu
dan mereka persekutukanlah Tuhan
dengan binatang-binatang, dan
inilah yang dipusakai oleh orang-
orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila
diperhatikan nyanyian-nyanyian
yang mereka nyanyikan dalam
upacara-upacara peribadatan,
jelaslah bahwa bukan seluruh
bangsa Mesir purbakala itu orang-
orang musyrik dan wasani,
melainkan di antara mereka juga ada
orang-orang muwahhidin,
penganut akidah tauhid. Di dalam
nyanyian-nyanyian itu terdapat
ungkapan berikut:
"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang
tiada sekutu bagi-Nya"
"Dia mencintai seluruh makhluk,
sedang dia sendiri tak ada yang
menciptakan-Nya"
"Dialah Tuhan Yang Maha Agung,
Pemilik langit dan bumi dan pencipta
seluruh makhluk"
Umat manusia yang dengan akalnya
itu telah sampai kepada akidah
tauhid. Akidah tauhid ini sering
menjadi kabur, atau tidak murni lagi,
dan jadilah mempersekutukan
Tuhan yang menonjol di antara
mereka. Biar pun pendeta-pendeta
mereka masih tetap dalam
ketauhidannya, akan tetapi pendeta-
pendeta ini kadang-kadang takut
atau segan untuk memberantas
kepercayaan mempersekutukan
Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam
arus masyarakat, yakni arus
mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan bahwa akidah
tauhid ini tidak pernah lenyap sama
sekali, melainkan kepercayaan
kepada adanya suatu Zat Yang Maha
Esa itu tetap ada. Dialah Pencipta
seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan
atau dewa-dewa yang lain itu
mereka anggap hanyalah sebagai
pembantu dan pelayan atau simbol
Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum
Islam tentang Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun sebelum
datang agama Islam, kalau
ditanyakan kepada mereka,
"Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi ini?" Mereka menjawab,
"Allah." Dan kalau ditanyakan,
"Adakah Al-Lata dan Al-Uzza itu
menjadikan sesuatu yang ada alam
ini"? Mereka menjawab, "Tidak."
Mereka sembah dewa-dewa itu
hanya untuk mengharapkan
perantaraan dan syafaat dari mereka
terhadap Tuhan yang sebenarnya.
Allah swt. berfirman menceritakan
perkataan musyrikin Arab itu:
اَم ْمُهُدُبْعَن
اَّلِإ
اَنوُبِّرَقُيِل
ىَلِإ ِهَّللا ىَفْلُز
Artinya:
Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka
mendekatkan (kedudukan) kami
kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya. (Q.S Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa
dicapai oleh akal
Manakala manusia itu memikirkan ke
manakah kembalinya alam ini, akan
sampailah dia pada keyakinan
bahwa di balik hidup di dunia yang
fana ini akan ada lagi hidup di hari
kemudian yang kekal dan abadi.
Tetapi dapatkah manusia dengan
akal dan pikirannya semata-mata
mengetahui apakah yang perlu
dikerjakan atau dijauhinya sebagai
persiapan untuk kebahagiaan di hari
kemudian (hari akhirat) itu?
Jawabnya tentu saja tidak, sejarah
pun telah membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa manusia telah
diberi Allah akal untuk jadi hidayah
baginya, di samping garizah dan
pancaindra. Tetapi hidayah akal itu
belumlah mencukupi untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai
tabiat suka beragama, dan dengan
akalnya dia kadang-kadang telah
sampai kepada tauhid. Akan tetapi
tauhid yang telah dicapainya dengan
akalnya itu sering pula menjadi
kabur dan tidak murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan
mempergunakan akalnya juga dapat
sampai kepada kesimpulan tentang
adanya akhirat, akan tetapi hidayah
akal itu belumlah mencukupi untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat. Maka untuk menyampaikan
manusia kepada akidah tauhid yang
murni, yang tidak dicampuri sedikit
juga oleh kepercayaan-kepercayaan
menyembah dan membesarkan
selain Allah, dan untuk
membentangkan jalan yang benar
yang akan ditempuhnya dalam
perjalanan mencari kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat dan untuk
jadi pedoman bagi hidupnya di
dunia ini, dia membutuhkan hidayah
yang lain di samping hidayah-
hidayah yang telah disebutkan itu.
Maka didatangkanlah oleh Allah
hidayah yang keempat yaitu
"agama" yang dibawa oleh para
rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena hal-hal yang disebutkan itu,
maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul
untuk membawa agama yang akan
menunjukkan kepada manusia jalan
yang harus mereka tempuh untuk
kebahagiaan mereka dunia dan
akhirat.
Adalah yang mula-mula ditanamkan
oleh rasul-rasul itu kepercayaan
tentang adanya Tuhan Yang Maha
Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, guna
membersihkan iktikad manusia dari
kotoran syirik (mempersekutukan
Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada
kepercayaan tauhid itu dengan
melalui akal dan logika, yaitu dengan
mempergunakan dalil-dalil yang
tepat dan logis. (Ingatlah kepada
soal-jawab antara Nabi Ibrahim
dengan Namruz, Nabi Musa dengan
Firaun, dan seruan-seruan Alquran
kepada kaum musyrikin Quraisy
agar mereka mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan kepada
adanya Tuhan Yang Maha Esa,
rasul-rasul juga membawa
kepercayaan tentang akhirat dan
malaikat-malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang
Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, serta adanya
malaikat dan hari kemudian itu,
itulah yang dinamakan Al-Iman bil
Gaib (percaya kepada yang gaib).
Dan itulah yang jadi pokok bagi
semua agama Ketuhanan, dengan
arti bahwa semua agama yang
datangnya dari Tuhan mempercayai
keesaan Tuhan, serta malaikat dan
hari akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-
kepercayaan) yang disebutkan itu,
rasul-rasul juga membawa hukum-
hukum, peraturan-peraturan, akhlak
dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-
peraturan ini berlain-lainan, artinya
apa yang diturunkan kepada Nabi
Ibrahim tidak sama dengan yang
diturunkan kepada Nabi Musa, dan
apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak
serupa dengan yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-
hukum dan peraturan-peraturan itu
haruslah sesuai dengan keadaan
tempat dan masa. Maka syariat
yang dibawa oleh nabi-nabi itu
adalah sesuai dengan masanya
masing-masing. Jadi yang berlain-
lainan itu ialah hukum-hukum furu`
(cabang-cabang), sedangkan pokok-
pokok hukum agama seperti akidah
adalah sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah
seorang nabi penutup maka syariat
yang dibawanya, diberi oleh Tuhan
sifat-sifat tertentu agar sesuai
dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan
kepada Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan
senjata hidup yang penghabisan,
atau jalan kebahagiaan yang
terakhir, telah dianugerahkan Tuhan,
tetapi adakah orang pandai
mempergunakan senjata itu, dan
adakah semua hamba Allah sukses
dalam menempuh jalan yang
dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia yang pandai
menerapkan agama, beribadat
(menyembah Allah) sebagai yang
diridai oleh yang disembah, bahkan
pelaksanaan syariat tidak sesuai
dengan yang dimaksud oleh
Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah
memohonkan kepada-Nya agar
diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan
dijaga-Nya selama-lamanya serta
diberi-Nya taufik agar dapat
memakai semua macam hidayah
yang telah dianugerahkan-Nya itu
menurut semestinya. Garizah-
garizah supaya dapat disalurkan ke
arah yang baik, pancaindra supaya
berfungsi betul, akal supaya sesuai
dengan yang benar, tuntunan-
tuntunan agama agar dapat
dilaksanakan menurut yang
dimaksud oleh yang menurunkan
agama itu dengan tidak ada cacat,
janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi
Tuhan bermacam-macam hidayah
yang disebutkan di atas (garizah-
garizah, pancaindra, akal dan
agama) belum dapat mencukupkan
semata-mata hidayah-hidayah itu
saja, tetapi dia masih membutuhkan
ma`unah dan bimbingan dari Allah
(yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah
yang kita mohonkan dan kepada
Allah sajalah kita hadapkan
permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah
memberi kita hidayah-hidayah
tersebut, tak ubahnya seakan-akan
Dia telah membentangkan di muka
kita jalan raya yang menyampaikan
kepada kebahagiaan hidup duniawi
dan ukhrawi, maka yang
dimohonkan kepada-Nya lagi ialah
"membimbing kita dalam menjalani
jalan yang telah terbentang itu".
Dengan ringkas hidayah dalam ayat
"ihdinassiratal mustaqim" ini berarti
"taufik" (bimbingan), dan taufik itulah
yang dimohonkan di sini kepada
Allah.
Taufik ini dimohonkan kepada Allah
sesudah kita berusaha dengan
sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar,
karena berusaha dengan sepenuh
tenaga adalah kewajiban kita, tetapi
sampai berhasil sesuatu usaha
adalah termasuk kekuasaan Allah.
Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat
ini dengan ayat yang sebelumnya.
Ayat yang sebelumnya Allah
mengajari hamba-Nya supaya
menyembah memohonkan
pertolongan kepada-Nya, sedangkan
pada ayat ini Allah menerangkan apa
yang akan dimohonkan, dan
bagaimana memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara
kedua firman Allah tersebut dan
firman Allah yang ditujukan kepada
Nabi yang berbunyi:
َكَّنِإَو يِدْهَتَل
ىَلِإ ٍطاَرِص
ٍميِقَتْسُم
Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-
benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura:
52)
Dan firman-Nya:
َكَّنِإ اَل يِدْهَت
ْنَم َتْبَبْحَأ
َّنِكَلَو َهَّللا
يِدْهَي ْنَم ُءاَشَي
Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi tetapi
Allahlah yang dapat memberi
petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat pertama, ialah
menunjukkan jalan yang harus
ditempuh, dan ini memang adalah
tugas nabi. Tetapi yang dimaksud
dengan hidayah pada ayat kedua
ialah membimbing manusia dalam
menempuh jalan itu dan
memberikan taufik agar sukses dan
berbahagia dalam perjalanannya,
dan ini tidaklah masuk dalam
kekuasaan Nabi, hanya adalah hak
Allah semata-mata.
َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
Artinya:
Jalan yang lurus (yang
menyampaikan kepada yang dituju).
(Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan
jalan lurus itu?
Di atas telah diterangkan bahwa
rasul-rasul telah membawa `aqaid
(kepercayaan-kepercayaan) hukum-
hukum, peraturan-peraturan,
akhlak, dan pelajaran-pelajaran.
Pendeknya telah membawa segala
sesuatu yang perlu untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran itulah yang
dimaksud dengan jalan lurus itu,
karena dialah yang menyampaikan
manusia kepada kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat sebagai
disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini
seakan-akan kita memohon kepada
Tuhan: "Bimbing dan beri taufiklah
kami, ya Allah dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama kami.
Betulkanlah kepercayaan kami.
Bimbing dan beri taufiklah kami
dalam melaksanakan kepercayaan
kami. Bimbing dan beri taufiklah
kami dalam melaksanakan hukum,
peraturan-peraturan, serta
pelajaran-pelajaran agama kami.
Jadikanlah kami mempunyai akhlak
yang mulia, agar berbahagia hidup
kami di dunia dan akhirat".

Minggu, 23 Mei 2010

Al fatihah 5

5 Hanya Engkaulah yang kami
sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon
pertolongan.(QS. 1:5)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 5
َكاَّيِإ ُدُبْعَن
َكاَّيِإَو
ُنيِعَتْسَن )5(
Di dalam ayat-ayat yang telah
disebutkan empat macam dari sifat-
sifat Tuhan, yaitu:
Pendidik semesta alam
Maha Pemurah
Maha Penyayang
Dan Yang menguasai hari
pembalasan.
Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah
sifat-sifat kesempurnaan yang
hanya Allah sajalah yang
mempunyainya. Sebab itu pada
ayat ini Allah mengajarkan kepada
hamba-Nya bahwa Allah sajalah
yang patut disembah, dan kepada-
Nya sajalah seharusnya manusia
memohonkan pertolongan, dan
bahwa hamba-Nya haruslah
mengikrarkan yang demikian itu.
"Iyyaka" (hanya kepada Engkaulah).
Susunan ayat-ayat ini membawa
pengertian "pengkhususan" yaitu
pengkhususan "ibadah" kepada
Allah.
Jadi arti ayat ini: "Kepada Engkau
sajalah kami tunduk dan berhina
diri, dan kepada Engkau sajalah kami
memohonkan suatu pertolongan".
Pertolongan yang khusus
dimohonkan kepada Allah ialah
tentang sesuatu yang di luar
kemampuan dan kekuasaan
manusia.
"Iyyaka" dalam ayat ini diulang dua
kali, gunanya untuk menegaskan
bahwa ibadat dan isti`anah itu
masing-masing khusus dihadapkan
kepada Allah. Selain dari itu untuk
dapat mencapai kelezatan munajat
(berbicara) dengan Allah. Karena
bagi seorang hamba Allah yang
menyembah dengan segenap jiwa
dan raganya tak ada yang lebih
nikmat dan lezat pada perasaannya
daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui bahwa dengan
memakai "Iyyaka" itu berarti
menghadapkan pembicaraan
kepada Allah, dengan maksud
menghadirkan Allah swt. dalam
ingatan, seakan-akan Dia berada di
muka kita, dan kepada-Nya
dihadapkan pembicaraan dengan
khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan
kita berkata:
"Ya Allah, Zat yang wajibul wujud.
Yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan. Yang menjaga dan
memelihara semesta alam. Yang
melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya dengan berlipat ganda. Yang
berkuasa di hari pembalasan.
Engkau sajalah yang kami sembah,
dan kepada Engkau sajalah kami
meminta pertolongan. Karena hanya
Engkau yang berhak disembah dan
hanya Engkau yang dapat
menolong kami".
Dengan cara yang seperti itu orang
akan lebih khusyuk di dalam
menyembah Allah dan lebih
tergambar kepadanya kebesaran
Yang disembahnya itu.
Inilah yang dimaksud oleh
Rasulullah saw. dengan sabdanya:
نأ دبعت هللا كنأك هارت
Artinya:
Hendaklah engkau menyembah
Allah itu seakan-akan engkau
melihat-Nya. (H.R Bukhari dan
Muslim dari Umar bin Khattab)
Karena surah Al-Fatihah
mengandung ayat munajat
(berbicara) dengan Allah menurut
cara yang diterangkan merupakan
rahasia diwajibkan membacanya
tiap-tiap rakaat dalam salat, karena
itu jiwanya ialah munajat dengan
menghadapkan diri dan
memusatkan ingatan kepada Allah.
"Na'budu" pada ayat ini didahulukan
menyebutkannya dari "nasta`iinu",
karena menyembah Allah itu adalah
suatu kewajiban manusia terhadap
Tuhannya. Tetapi pertolongan dari
Tuhan kepada seseorang hamba-
Nya adalah hak hamba itu. Maka
seakan-akan Tuhan mengajar
hamba-Nya supaya menunaikan
kewajibannya lebih dahulu, sebelum
ia menuntut haknya.
Melihat kata-kata "na`budu" dan
"nasta`iinu" (kami menyembah,
kami minta tolong), bukan a`budu"
dan "asta`iinu" (saya menyembah
dan saya minta tolong) adalah untuk
memperlihatkan kelemahan
manusia itu, dan tidak selayaknya
mengemukakan dirinya seorang
saja dalam menyembah dan
memohon pertolongan kepada
Allah, seakan-akan penunaian
kewajiban beribadat dan
permohonan pertolongan kepada
Allah itu belum lagi sempurna
kecuali kalau dikerjakan dengan
bersama-sama.
Kedudukan tauhid di dalam ibadat
dan sebaliknya
Arti "ibadat" sebagai disebutkan di
atas ialah tunduk dan berhina diri
kepada Allah, yang disebabkan oleh
kesadaran bahwa Allah yang
menciptakan alam ini, Yang
menumbuhkan, Yang
mengembangkan, Yang menjaga
dan memelihara serta Yang
membawanya dari suatu keadaan
kepada keadaan yang lain hingga
tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya ibadat itu timbulnya dari
perasaan tauhid, maka orang yang
suka memikirkan keadaan alam ini,
yang memperhatikan perjalanan
bintang-bintang, kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang dan
manusia, bahkan yang mau
memperhatikan dirinya sendiri,
yakinlah dia bahwa di balik alam
yang zahir ada Zat yang gaib yang
mengendalikan alam ini, yang
bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan, yakni Dialah Yang
Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha
Mengetahui dan sebagainya. Maka
tumbuhlah dalam sanubarinya
perasaan bersyukur dan berutang
budi kepada Zat Yang Maha Kuasa,
Maha Pengasih dan Maha
Mengetahui itu.
Perasaan inilah yang menggerakkan
bibirnya untuk menuturkan puji-
pujian, dan yang mendorong jiwa
dan raganya untuk menyembah
dan berhina diri kepada Allah Yang
Maha Kuasa itu sebagai pernyataan
bersyukur dan membalas budi
kepada-Nya.
Tetapi ada juga manusia yang tidak
mau berpikir, dan selanjutnya tidak
sadar akan kebesaran dan
kekuasaan Tuhan, sering
melupakan-Nya, sebab itulah maka
tiap-tiap agama disyariatkan
bermacam-macam ibadat, gunanya
untuk mengingatkan manusia
kepada kebesaran dan kekuasaan
Allah itu.
Dengan keterangan ini kelihatanlah
bahwa tauhid dan ibadat itu
pengaruh-mempengaruhi dengan
arti tauhid menumbuhkan ibadat
dan ibadat memupuk tauhid.
Pengaruh ibadat terhadap jiwa
manusia
Tiap-tiap ibadat yang dikerjakan
karena didorong oleh perasaan yang
disebutkan itu, niscaya ada
kesannya kepada tabiat dan budi
pekerti orang yang beribadat itu.
Umpamanya orang yang
mendirikan salat karena sadar akan
kebesaran dan kekuasaan Allah, dan
didorong oleh perasaan bersyukur
dan berutang budi kepada-Nya,
akan terjauhlah dia dari perbuatan-
perbuatan yang tidak baik, yang
dilarang Allah. Dengan demikian
salatnya itu akan mencegahnya dari
mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak baik itu, sesuai dengan
firman Allah swt.:
َّنِإ َةاَلَّصلا
ىَهْنَت ِنَع
ِءاَشْحَفْلا
Artinya:
Sesungguhnya salat itu mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar.
(Q.S Al Ankabut: 45)
Begitu juga ibadat puasa. Ibadat ini
akan menimbulkan perasaan cinta
dan kasih sayang terhadap orang-
orang yang melarat dan miskin
pada diri orang yang berpuasa itu.
Dan seterusnya dengan ibadat-
ibadat yang lain. Tetapi ibadat yang
bukan ditimbulkan oleh keyakinan
kepada kebesaran dan kekuasaan
Allah, dan bukan pula didorong oleh
perasaan bersyukur dan berutang
budi kepada Allah itu, hanya karena
turut-turutan, atau karena
memelihara tradisi yang sudah
turun-temurun, bukanlah ibadat
yang sebenarnya, dan kendatipun
dia mempunyai rupa dan bentuk
ibadat, tetapi tidak ada mempunyai
jiwa ibadat itu, tak ubahnya dengan
gambar atau patung, bagaimana
pun juga miripnya dengan manusia,
tidaklah dinamai manusia.
Selanjutnya ibadat yang semacam
itu tidak ada kesan dan buahnya
kepada tabiat dan akhlak orang yang
beribadat itu.
Berusaha berdoa dan bertawakal
"Isti`anah" (memohon pertolongan)
sebagai disebutkan di atas khusus
dihadapkan kepada Allah, dengan
arti bahwa tidak ada yang berhak
dimohonkan pertolongannya kecuali
Allah.
Dalam pada itu, pada ayat yang lain
Allah menyuruh manusia bertolong-
tolongan dalam mengerjakan
kebaikan. Allah berfirman:
اوُنَواَعَتَو ىَلَع
ِّرِبْلا
ىَوْقَّتلاَو
Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebaikan dan
takwa. (Q.S Al Ma'idah: 2)
Adakah pertentangan antara dua
ayat itu? Tidak
Tercapainya sesuatu maksud, atau
terlaksananya suatu pekerjaan
dengan baik adalah tergantung
kepada cukupnya syarat-syarat
yang dibutuhkan dalam
melaksanakan pekerjaan itu, dan
tidak adanya rintangan-rintangan
yang akan menghalanginya.
Manusia telah diberi Allah tenaga,
baik yang berupa pikiran maupun
yang berupa kekuatan tubuh, untuk
dipakai guna mencukupkan syarat-
syarat, atau menolak rintangan-
rintangan dalam menuju suatu
maksud, atau mengerjakan sesuatu
pekerjaan. Tetapi ada di antara
syarat-syarat itu yang tidak kuasa
manusia mencukupkannya,
sebagaimana di antara rintangan itu
ada yang di luar kekuasaan manusia
menolaknya. Begitu pula ada di
antara syarat-syarat itu atau di
antara halangan-halangan itu yang
tidak dapat diketahui. Maka
kendatipun menurut pikirannya dia
telah mencukupkan semua syarat-
syarat yang diperlukan, dan telah
menjauhkan semua rintangan-
rintangan yang menghalangi, tetapi
hasil pekerjaannya itu belum lagi
sebagai yang dicita-citakannya. Jadi
ada hal-hal yang tidak masuk dalam
batas kekuasaan dan kemampuan
manusia. Itulah yang dimintakan
pertolongan khusus kepada Allah.
Sebaiknya tentang sesuatu yang
termasuk dalam batas kekuasaan
dan kemampuan manusia, dia
disuruh bertolong-tolongan, supaya
tenaga menjadi kuat, dan agar ada
pada masing-masing manusia sifat
cinta-mencintai, harga-menghargai,
dan gotong-royong.
Dengan perkataan lain, manusia
disuruh Allah berusaha dengan
sekuat tenaga, dan disuruh tolong-
menolong, bantu-membantu. Di
samping menjalankan ikhtiar dan
usahanya itu, dia harus pula berdoa,
memohon taufik, hidayah dan
ma`unah. Ini hendaknya
dimohonkannya khusus kepada
Allah, karena hanyalah Dia yang
kuasa memberinya. Sesudah itu
semua, barulah dia bertawakal
kepada-Nya.
Ibadat itu sendiri pun sesuatu
pekerjaan yang berat, sebab itu
haruslah dimintakan ma`unah dari
Allah supaya semua ibadat
terlaksana sebagai yang dimaksud
oleh agama. Maka seseorang
menuturkan bahwa hanya kepada
Allahlah kita beribadat, diikuti lagi
dengan pernyataan bahwa kepada-
Nya saja minta pertolongan,
terutama pertolongan agar amal
ibadat terlaksana sebagaimana
mestinya. Ayat di atas, sebagai telah
disebutkan, mengandung tauhid,
karena beribadat semata-mata
kepada Allah dan meminta ma`unah
khusus kepada-Nya, adalah intisari
agama, dan kesempurnaan tauhid.

Sabtu, 22 Mei 2010

Al fatihah 3-4

3 Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.(QS. 1:3)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 3
ِنَمْحَّرلا
ِميِحَّرلا )3(
Pada ayat dua di atas Allah swt.
menerangkan bahwa Dia adalah
Tuhan semesta alam. Maka untuk
mengingatkan hamba kepada
nikmat dan karunia yang berganda-
ganda, yang telah dilimpahkan-Nya,
serta sifat dan cinta kasih sayang
yang abadi pada diri-Nya, diulang-
Nya sekali lagi menyebut "Ar-
Rahmanir Rahim". Yang demikian itu
supaya lenyap dari pikiran mereka
gambaran keganasan dan kezaliman
seperti raja-raja yang dipertuan,
yang bersifat sewenang-wenang.
Allah mengingatkan dalam ayat ini
bahwa sifat ketuhanan Allah
terhadap hambanya bukanlah sifat
keganasan dan kezaliman, tetapi
berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian manusia akan
mencintai Tuhannya, dan
menyembah Allah dengan hati yang
aman dan tenteram bebas dari rasa
takut dan gelisah. Malah dia akan
mengambil pelajaran dari sifat-sifat
Tuhan. Dia akan mendasarkan
pergaulan dan tingkah lakunya
terhadap manusia sesamanya, atau
pun terhadap orang yang di bawah
pimpinannya, malah terhadap
binatang yang tak pandai berbicara
sekalipun atas sifat cinta dan kasih
sayang itu.
Karena dengan jalan demikianlah
manusia akan mendapat rahmat
dan karunia dari Tuhannya.
Rasulullah saw. Bersabda:
امنإ محري هللا نم هدابع
ءامحرلا
Artinya:
Sesungguhnya Allah kasih sayang
kepada hamba-hamba-Nya yang
pengasih.(H.R Tabrani)
نومحارلا مهمحري نمحرلا
كرابت و يلاعت اومحرا نم
يف ضرألا مكمحري نم يف
ءامسلا
Artinya:
Orang-orang yang kasih sayang
Tuhan yang Rahman Tabaraka wa
Taala akan kasih sayang kepadanya.
(Oleh karena itu) kasih sayanglah
kamu semua kepada semua
makhluk yang di bumi niscaya
semua makhluk yang di langit akan
kasih sayang kepada kamu semua.
(H.R Ahmad, Abu Daud At Tarmizi
dan Al Hakim)
Dan sabda Rasulullah saw:
نم محر ولو ةحيبذ روفصع
همحر هللا موي ةمايقلا
Artinya:
Barang siapa (orang) yang kasih
sayang meskipun kepada seekor
burung (pipit) yang disembelih,
Allah kasih sayang kepadanya pada
hari kiamat. (H.R Bukhari)
Maksud hadis tersebut ialah pada
waktu menyembelih burung itu
dengan sopan santun umpamanya
dengan pisau yang tajam.
Dapat pula dipahami dari urutan kata
"Ar-Rahman", "Ar-Rahim" itu,
bahwa penjagaan, pemeliharaan
dan asuhan Tuhan terhadap
semesta alam, bukanlah lantaran
mengharapkan sesuatu dari alam
itu, hanya semata-mata karena
rahmat dan belas kasihan daripada-
Nya.
Boleh jadi ada yang terlintas pada
pikiran orang, mengapa Tuhan
mengadakan peraturan-peraturan
dan hukum-hukum, dan
menghukum orang-orang yang
melanggar peraturan-peraturan itu?
Keragu-raguan ini akan hilang bila
diketahui bahwa Allah swt.
mengadakan peraturan-peraturan
dan hukum-hukum, begitu juga
menyediakan azab di akhirat atau di
dunia untuk hamba-Nya yang
melanggar peraturan-peraturan dan
hukum-hukum itu, bukanlah
berlawanan dengan sifat Tuhan
Yang Maha Pemurah dan Maha
Penyayang, karena peraturan dan
hukum itu rahmat dari Tuhan;
begitu pula azab dari Allah terhadap
hamba-Nya yang melanggar
peraturan-peraturan dan hukum-
hukum itu sesuai dengan keadilan.
4 Yang menguasai hari
pembalasan.(QS. 1:4)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 4
ِكِلاَم ِمْوَي
ِنيِّدلا )4(
Sesudah Allah swt. menyebutkan
beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan
semesta alam, Yang Maha Pemurah,
Maha Penyayang, maka diiringi-Nya
dengan menyebutkan satu sifat-Nya
lagi, yaitu menguasai hari
pembalasan.
"Malik" berarti "Yang Menguasai"
Ada dua macam bacaan berkenaan
dengan "Malik", pertama dengan
memanjangkan "Maa", kedua
dengan memendekkannya. Menurut
bacaan yang pertama, "Maalik"
artinya: Yang memiliki (yang
empunya). Sedang menurut bacaan
yang kedua, artinya: Raja; kedua-dua
bacaan itu dibolehkan.
Baik menurut bacaan yang pertama,
atau pun bacaan yang kedua, dapat
dipahami dari kata itu arti "berkuasa"
dan bertindak dengan sepenuhnya.
Sebab itulah maka diterjemahkan
dengan: "Yang menguasai". "Yaum",
(hari) artinya, tetapi yang dimaksud
di sini ialah waktu secara mutlak.
"Ad-Din" itu banyak artinya, di
antaranya:
1.Perhitungan
2.Ganjaran, pembalasan
3.Patuh
4.Menundukkan
5.Syariat, agama
Yang selaras di sini ialah dengan arti
"pembalasan". Jadi "Maaliki
yaumiddin" maksudnya "Tuhan
itulah yang berkuasa dan yang
dapat bertindak dengan sepenuhnya
terhadap semua makhluk-Nya pada
hari pembalasan itu".
Sebetulnya pada hari kemudian itu
banyak hal-hal yang terjadi, yaitu
hari kiamat, hari berbangkit, hari
berkumpul, hari perhitungan, hari
pembalasan, tetapi pembalasan
sajalah yang disebut oleh Tuhan di
sini, karena itulah yang terpenting.
Yang lain dari itu, umpamanya
kiamat, berbangkit dan seterusnya,
pendahuluan dari pembalasan itu,
apalagi untuk targib dan tarhib
(menarik dan menakuti) dengan
menyebut "hari pembalasan" itulah
yang lebih tepat.
Hari akhirat menurut pendapat akal
(filsafat)
Kepercayaan tentang adanya hari
akhirat, yang di hari itu akan
diadakan perhitungan terhadap
perbuatan manusia di masa
hidupnya dan diadakan pembalasan
yang setimpal, adalah suatu
kepercayaan yang sesuai dengan
akal.
Sebab itu adanya hidup yang lain,
sesudah hidup di dunia ini bukanlah
saja ditetapkan oleh agama, malah
juga ditunjukkan oleh akal.
Seseorang yang mau berpikir tentu
akan merasa bahwa hidup di dunia
ini belumlah sempurna, perlu
disambung dengan hidup yang lain.
Alangkah banyaknya hidup di dunia
ini orang yang teraniaya telah
pulang ke rahmatullah sebelum
mendapat keadilan. Alangkah
banyaknya orang yang berjasa, biar
kecil atau besar, belum mendapat
penghargaan terhadap jasanya.
Alangkah hanyaknya orang yang
telah berusaha, memeras keringat
dan peluh, membanting tulang
tetapi belum sempat lagi merasa
buah usahanya itu. Sebaliknya,
alangkah banyaknya penjahat-
penjahat, penganiaya, pembuat
onar yang tak dapat dipegang oleh
pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih
kalau yang melakukan kejahatan
atau aniaya itu orang yang berkuasa
sebagai raja, pembesar dan lain-lain.
Maka biar pun kejahatan dan aniaya
itu telah meratai bangsa seluruhnya
tiadalah digugat orang, malah dia
tetap dipuja dan dihormati. Victor
Hugo (1802-1885) pernah menyindir
keadaan ini dengan katanya,
"Membunuh seorang manusia
dalam rimba adalah satu dosa yang
tak dapat diampuni, tetapi
membunuh suatu bangsa
seluruhnya adalah satu soal yang
masih dapat dipertimbangkan."
Maka di manakah akan didapat
gerangan keadilan itu, kalau tidak
ada nanti mahkamah yang lebih
tinggi, yaitu mahkamah Allah di hari
kemudian.
Sebab itu ahli-ahli pikir dari zaman
dahulu telah ada yang sampai
kepada kepercayaan tentang adanya
hari akhirat itu, semata-mata dengan
jalan berpikir. Antara lain
Pythagoras; filosof ini berpendapat
bahwa hidup di dunia ini persediaan
hidup yang abadi di akhirat kelak.
Sebab itu semenjak dari dunia
hendaklah orang bersedia untuk
hidup yang abadi ini. Socrates, Plato
dan Aristoteles, "Jiwa yang baik akan
merasai kenikmatan dan kelezatan di
akhirat, tetapi bukan kelezatan
kebendaan, karena kelezatan
kebendaan itu terbatas dan
mendatangkan bosan dan jemu.
Hanya kelezatan rohani yang
bagaimana pun banyak dan
lamanya, tiadalah menyebabkan
bosan dan jemu."
Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum
Islam tentang hari akhirat
Di antara bangsa Arab sebelum
datang agama Islam didapati
beberapa ahli pikir dan pujangga-
pujangga yang telah mempercayai
adanya hari kemudian itu.
Umpamanya Zuhair bin Abu Sulma
yang meninggal dunia setahun
sebelum Nabi Muhammad saw.
diutus Allah. Pujangga ini pernah
berkata yang artinya:
Sesuatu pekerti atau perbuatan
seseorang yang menurut
dugaannya tidak diketahui orang,
pasti diketahui juga oleh Tuhan.
Sebab itu janganlah disembunyikan
kepada Allah sesuatu yang ada pada
dirimu, karena bagaimanapun kamu
menyembunyikan, niscaya Allah
akan mengetahuinya.
Dilambatkan membalasnya, maka
ditulislah dalam buku disimpan
sampai "hari perhitungan", atau
disegerakan maka diberi balasan. \s
Ada pula di antara mereka yang
tidak mempercayai adanya hari
kemudian itu. Dengarlah apa yang
dikatakan oleh salah seorang penyair
mereka:
"Hidup, sudah itu mati, sudah itu
dibangkit lagi, itulah cerita dongeng
hai fulan".
Karena itu, datanglah agama Islam
membawa kepastian tentang
adanya hari kemudian. Di hari akan
dihisab semua perbuatan yang telah
dikerjakan manusia selama
hidupnya biar pun besar atau kecil.
Allah swt. berfirman:
ْنَمَف ْلَمْعَي
َلاَقْثِم ٍةَّرَذ
اًرْيَخ ُهَرَي )7(
ْنَمَو ْلَمْعَي
َلاَقْثِم ٍةَّرَذ
اًّرَش ُهَرَي )8(
Artinya:
Barang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat zarrah pun niscaya
dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barang siapa mengerjakan kejahatan
seberat zarah pun niscaya akan
melihat (balasan)nya pula. (Q.S Az
Zalzalah: 7-8)

Jumat, 21 Mei 2010

Al fatihah 1-2

1 Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.(QS. 1:1)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 1
ِمْسِب ِهَّللا
ِنَمْحَّرلا
ِميِحَّرلا )1(
Di dalam Alquran ada 114 surah,
semuanya dimulai dengan
"Basmalah", kecuali surah At-
Taubah. Surah At-Taubah ini tidak
dimulai dengan "Basmalah" karena
memang tidak serasi kalau dimulai
dengan "Basmalah". Di samping
pada permulaannya "Basmalah" ada
disebutkan satu kali di pertengahan
surah An-Naml:30; dengan demikian
"Basmalah" itu didapati di dalam
Alquran 114 kali.
Ada beberapa pendapat ulama
berkenaan dengan "Basmalah" yang
terdapat pada permulaan sesuatu
surah. Di antara pendapat-pendapat
itu yang termasyhur ialah:
1."Basmalah" itu adalah suatu ayat
yang tersendiri, diturunkan Allah
untuk jadi kepala masing-masing
surah, dan pembatas antara surah
dengan surah yang lain. Jadi dia
bukanlah satu ayat dari Al-Fatihah
atau dari sesuatu surah yang lain,
yang dimulai dengan Basmalah itu.
Ini adalah pendapat Imam Malik
beserta ahli qiraat dan fuqaha
Madinah, Basrah dan Syam dan
juga pendapat Imam Abu Hanifah
dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu
menurut Imam Abu Hanifah
"Basmalah" itu tidak dikeraskan
membacanya dalam salat bahkan
Imam Malik tidak membaca
Basmalah sama sekali.
2."Basmalah" adalah salah satu ayat
dari Al-Fatihah, dan dari sesuatu
surah yang lain, yang dimulai
dengan "Basmalah". Ini adalah
pendapat Imam Syafii beserta ahli
qiraat Mekah dan Kufah. Sebab itu
menurut mereka "Basmalah" itu
dibaca dengan suara keras dalam
salat (Jahar).
Kalau kita perhatikan bahwa
sahabat-sahabat Rasulullah saw.
telah sependapat menuliskan
"Basmalah" pada permulaan sesuatu
surah dan surah-surah Alquranul
Karim itu, kecuali surah At-Taubah
(karena memang dari semula
turunnya tidak dimulai dengan
Basmalah) dan bahwa Rasulullah
saw. melarang menuliskan sesuatu
yang bukan Alquran supaya tidak
bercampur aduk dengan Alquran.
Sebab itu oleh mereka tidak
dituliskan "amin" di akhir surah Al-
Fatihah. Basmalah itu adalah salah
satu ayat dari Alquran atau dengan
perkataan lain bahwa "basmalah-
basmalah" yang terdapat di dalam
Alquran itu adalah ayat-ayat
Alquran, lepas dari pendapat apakah
satu ayat dari Al-Fatihah atau dari
sesuatu surah yang lain, yang
dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagai disebutkan di atas surah Al-
Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat.
Mereka yang berpendapat bahwa
basmalah itu tidak termasuk satu
ayat dari Al-Fatihah, memandang:
ِرْيَغ ِبوُضْغَمْلا
ْمِهْيَلَع اَلَو
َنيِّلاَّضلا
adalah salah satu ayat, dengan
demikian ayat-ayat Al-Fatihah itu
tetap tujuh.
ِمْسِب ِهَّللا
ِنَمْحَّرلا
ِميِحَّرلا )1(
"Dengan menyebut nama Allah",
maksudnya "dengan menyebut
nama Allah saya baca atau saya
mulai". Seakan-akan Nabi berkata:
"Saya baca surah ini dengan
menyebut nama Allah, bukan
dengan menyebut nama saya
sendiri, sebab dia wahyu dari
Tuhan, bukan dari saya sendiri.
Maka basmalah di sini mengandung
arti bahwa Alquranul Karim itu
wahyu dari Allah, bukan karangan
Muhammad saw. dan Muhammad
itu hanyalah seorang pesuruh Allah
yang dapat perintah menyampaikan
Alquran kepada manusia.
Pemakaian kata "Allah"
"Allah" nama bagi Zat yang ada
dengan sendiri-Nya (wajibul wujud).
Kata "Allah" itu hanya dipakai oleh
bangsa Arab kepada Tuhan yang
sebenarnya, yang berhak disembah,
yang mempunyai sifat-sifat
kesempurnaan. Mereka tidak
memakai kata itu untuk tuhan-tuhan
atau dewa-dewa mereka yang lain.
Kata "Ar-Rahman" terambil dari "Ar-
Rahmah" yang berarti "belas
kasihan", yaitu suatu sifat yang
menimbulkan perbuatan memberi
nikmat dan karunia.
Jadi kata "Ar-Rahman" itu ialah: Yang
berbuat (memberi) nikmat dan
karunia yang banyak.
Kata "Ar-Rahim" juga terambil dari
"Ar-Rahmah", dan arti "Rahim" ialah:
Orang yang mempunyai sifat belas
kasihan, dan sifat itu "tetap" padanya
selama-lamanya.
Maka Ar-Rahman Ar-Rahim
(Arrahmanirrahim) itu maksudnya:
Tuhan itu telah memberi nikmat
yang banyak dengan murah-Nya
dan telah melimpahkan karunia
yang tidak terhingga, karena Dia
adalah bersifat belas kasihan kepada
makhluk-Nya, dan oleh karena sifat
belas kasihan itu adalah suatu sifat
yang tetap pada-Nya maka nikmat
dan karunia Allah itu tidak ada
putus-putusnya.
Dengan demikian maka kata-kata
"Ar-Rahman" dan "Ar-Rahim" itu
kedua-duanya adalah diperlukan
dalam susunan ini, karena masing-
masing mempunyai arti yang
khusus.
Tegasnya bila seseorang Arab
mendengar orang mensifati Allah
dengan Ar-Rahman, maka
terpahamlah olehnya bahwa Allah
itu telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya dengan banyak dan
berlimpah-limpah. Tetapi bahwa
limpahan nikmat dan karunia yang
banyak itu tetap, tidak putus-putus
tidak dapat dipahami dari lafaz Ar-
Rahman itu saja. Karena itu perlulah
diikuti dengan Ar-Rahim, supaya
orang mengambil pengertian bahwa
limpahan nikmat dan karunia serta
kemurahan Allah itu tidak ada putus-
putusnya.
Hikmah membaca basmalah
Seorang muslim disuruh membaca
basmalah di waktu mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang baik. Yang
demikian itu untuk mengingatkan
bahwa pekerjaan yang
dikerjakannya itu adalah suruhan
Allah, atau karena telah diizinkan-
Nya. Maka karena Allahlah dia
mengerjakan pekerjaan itu dan
kepada-Nya dia meminta
pertolongan supaya pekerjaan itu
terlaksana dengan baik dan berhasil.
Nabi saw. bersabda:
لك رمأ يذ لاب أدبيال هيف
مسبب هللا وهف رتبأ يأ
عوطقم بنذلا صقان
Sesuatu pekerjaan yang penting
yang tidak dimulai dengan
menyebut nama Allah adalah
buntung, yakni tidak ada hasilnya.
Orang Arab sebelum datang Islam
mengerjakan sesuatu pekerjaan
adalah dengan menyebut Al-Lata
dan Al-`Uzza, yaitu nama-nama
berhala mereka. Sebab itu Allah swt.
mengajarkan kepada penganut-
penganut agama Islam yang telah
mengesakan-Nya supaya mereka
mengerjakan dengan menyebut
nama Allah.
2 Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam,(QS. 1:2)
::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun
Nuzul::
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah Al Faatihah 2
ُدْمَحْلا ِهَّلِل
ِّبَر َنيِمَلاَعْلا
)2(
Pada ayat di atas Allah swt. memulai
firman-Nya dengan menyebut
"Basmalah" untuk mengajarkan
kepada hamba-Nya agar memulai
sesuatu perbuatan yang baik
dengan menyebut basmalah itu,
sebagai pernyataan bahwa dia
mengerjakan perbuatan itu karena
Allah dan kepada-Nyalah dia
memohonkan pertolongan dan
berkat. Maka pada ayat ini Allah swt.
mengajarkan hamba-Nya agar
selalu memuji Allah.
"Al-Hamdu".
دمحلا
Memuji oleh karena sesuatu nikmat
yang diberikan oleh yang dipuji atau
karena sesuatu sifat keutamaan
yang dimiliki-Nya.
Semua nikmat yang telah dirasakan
dan didapat di alam ini dari Allah,
sebab Dialah yang jadi sumber bagi
semua nikmat. Yang mempunyai
sifat-sifat kesempurnaan, hanyalah
Allah semata. Karena itu Allah
sajalah yang berhak dipuji.
Ada manusia dipuji orang
berhubung jasanya yang banyak
atau akhlak dan budi pekertinya
yang luhur, tetapi orang memujinya
itu pada hakekatnya memuji Tuhan,
dengan disengaja atau tidak karena
Allahlah yang jadi pangkal bagi
semua yang disebut itu.
Berhubung nikmat Allah yang
sangat banyak, dan berhubung
sifat-sifat kesempurnaan yang
dipunyai oleh Allah, maka sudah
selayaknyalah manusia selalu
memuji-Nya.
Orang yang menyebut
"Alhamdulillah" bukanlah hanya
mengakui bahwa puji itu teruntuk
bagi Allah semata, bahkan dengan
ucapannya itu dia memuji Allah.
Dapat juga seseorang memuji Allah
dengan sebutan lain, yaitu: دمحلا
هلل tetapi ادمح هلل itulah yang
dipakaikan Allah di sini, karena
susunan semacam itu mengandung
arti tetap, yakni dipahamkan di
dalamnya bahwa Allah selamanya
dipuji, bukan sewaktu-waktu saja.
بر arti aslinya: "Yang
Empunya" (pemilik) di dalamnya
terkandung arti: mendidik, yaitu
menyampaikan sesuatu kepada
keadaannya yang sempurna dengan
berangsur-angsur.
"Alamin" artinya "semesta alam",
yakni semua jenis alam. Alam itu
berjenis-jenis macamnya, yaitu
alam tumbuh-tumbuhan, alam
binatang, alam manusia, alam
benda, alam makhluk yang
bertubuh halus umpamanya
malaikat, jin dan alam yang lain. Ada
ahli tafsir mengkhususkan "Alamin"
di ayat ini kepada makhluk-makhluk
Allah yang berakal yaitu manusia,
malaikat dan jin. Tetapi ini berarti
mempersempit arti kata yang
sebenarnya amat luas.
Dengan demikian Allah itu Pendidik
semesta alam tak ada suatu juga
dari makhluk Allah itu terjauh dari
didikan-Nya.
Tuhan mendidik makhluk-Nya
dengan seluas arti kata itu. Sebagai
pendidik, Dia menumbuhkan,
menjaga, memberikan daya
(tenaga) dan senjata kepada
makhluk itu guna kesempurnaan
hidupnya masing-masing.
Siapa yang memperhatikan
perjalanan bintang-bintang,
menyelidiki kehidupan tumbuh-
tumbuhan dan binatang di laut dan
di darat, mempelajari pertumbuhan
manusia sejak dari rahim ibunya,
sampai ke masa kanak-kanak lalu
menjadi manusia yang sempurna,
tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu
juga dari makhluk Tuhan yang
terlepas dari penjagaan,
pemeliharaan, asuhan dan inayah-
Nya.

Kamis, 20 Mei 2010

Fungsi gunung

Al Qur’an mengarahkan perhatian
kita pada fungsi geologis penting
dari gunung.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini
gunung-gunung yang kokoh
supaya bumi itu (tidak) goncang
bersama mereka..." (Al Qur'an,
21:31)
Sebagaimana terlihat, dinyatakan
dalam ayat tersebut bahwa gunung-
gunung berfungsi mencegah
goncangan di permukaan bumi.
Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh
siapapun di masa ketika Al Qur’an
diturunkan. Nyatanya, hal ini baru
saja terungkap sebagai hasil
penemuan geologi modern.
Menurut penemuan ini, gunung-
gunung muncul sebagai hasil
pergerakan dan tumbukan dari
lempengan-lempengan raksasa
yang membentuk kerak bumi.
Ketika dua lempengan
bertumbukan, lempengan yang
lebih kuat menyelip di bawah
lempengan yang satunya,
sementara yang di atas melipat dan
membentuk dataran tinggi dan
gunung. Lapisan bawah bergerak di
bawah permukaan dan membentuk
perpanjangan yang dalam ke
bawah. Ini berarti gunung
mempunyai bagian yang
menghujam jauh ke bawah yang
tak kalah besarnya dengan yang
tampak di permukaan bumi.
Dalam tulisan ilmiah, struktur
gunung digambarkan sebagai
berikut:
Pada bagian benua yang lebih tebal,
seperti pada jajaran pegunungan,
kerak bumi akan terbenam lebih
dalam ke dalam lapisan magma.
(General Science, Carolyn Sheets,
Robert Gardner, Samuel F. Howe;
Allyn and Bacon Inc. Newton,
Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung
seperti ini diungkapkan melalui
sebuah perumpamaan sebagai
"pasak":
"Bukankah Kami telah menjadikan
bumi itu sebagai hamparan?, dan
gunung-gunung sebagai pasak?" (Al
Qur'an, 78:6-7)
Dengan kata lain, gunung-gunung
menggenggam lempengan-
lempengan kerak bumi dengan
memanjang ke atas dan ke bawah
permukaan bumi pada titik-titik
pertemuan lempengan-lempengan
ini. Dengan cara ini, mereka
memancangkan kerak bumi dan
mencegahnya dari terombang-
ambing di atas lapisan magma atau
di antara lempengan-
lempengannya. Singkatnya, kita
dapat menyamakan gunung dengan
paku yang menjadikan lembaran-
lembaran kayu tetap menyatu.
Fungsi pemancangan dari gunung
dijelaskan dalam tulisan ilmiah
dengan istilah "isostasi". Isostasi
bermakna sebagai berikut:
Isostasi: kesetimbangan dalam kerak
bumi yang terjaga oleh aliran materi
bebatuan di bawah permukaan
akibat tekanan gravitasi. (Webster's
New Twentieth Century Dictionary,
2. edition "Isostasy", New York, s.
975)
Peran penting gunung yang
ditemukan oleh ilmu geologi
modern dan penelitian gempa, telah
dinyatakan dalam Al Qur’an
berabad-abad lampau sebagai suatu
bukti Hikmah Maha Agung dalam
ciptaan Allah.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini
gunung-gunung yang kokoh
supaya bumi itu (tidak) goncang
bersama mereka..." (Al Qur'an,
21:31)

Rabu, 19 Mei 2010

Keseimbangan kata-kata Al quran

Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz
Al-Adabiy li Al-Qur’an Al-Karim
yang terdiri dari tiga jilid,
mengemukakan sekian banyak
contoh tentang Keajaiban di
dalam Al quran, yang dapat kita
simpulkan secara sangat singkat
sebagai berikut :
1. Keseimbangan kata atau
kalimat di dalamnya
A. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, di antaranya :
* Al-hayah (hidup) dan al-mawt
(mati), masing-masing sebanyak
145 kali;
* Al-naf’ (manfaat) dan al-
madharrah (mudarat), masing-
masing sebanyak 50 kali;
* Al-har (panas) dan al-bard (dingin),
masing-masing 4 kali;
* Al-shalihat (kebajikan) dan al-
sayyi ’at (keburukan), masing-
masing 167 kali;
* Al-Thumaninah (kelapangan/
ketenangan) dan al-dhiq
(kesempitan/kekesalan), masing-
masing 13 kali;
* Al-rahbah (cemas/takut) dan al-
raghbah (harap/ingin), masing-
masing 8 kali;
* Al-kufr (kekufuran) dan al-iman
(iman) dalam bentuk definite,
masing-masing 17 kali;
* Kufr (kekufuran) dan iman (iman)
dalam bentuk indifinite, masing-
masing 8 kali;
* Al-shayf (musim panas) dan al-
syita ’ (musim dingin), masing-
masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan
kata dengan sinonimnya/makna
yang dikandungnya.
* Al-harts dan al-zira’ah (membajak/
bertani), masing-masing 14 kali;
* Al- ’ushb dan al-dhurur
(membanggakan diri/angkuh),
masing-masing 27 kali;
* Al-dhallun dan al-mawta (orang
sesat/mati [jiwanya]), masing-
masing 17 kali;
* Al-Qur ’an, al-wahyu dan Al-Islam
(Al-Quran, wahyu dan Islam),
masing-masing 70 kali;
* Al-aql dan al-nur (akal dan
cahaya), masing-masing 49 kali;
* Al-jahr dan al- ’alaniyah (nyata),
masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata
yang menunjuk kepada akibatnya.
* Al-infaq (infak) dengan al-ridha
(kerelaan), masing-masing 73 kali;
* Al-bukhl (kekikiran) dengan al-
hasarah (penyesalan), masing-
masing 12 kali;
* Al-kafirun (orang-orang kafir)
dengan al-nar/al-ahraq (neraka/
pembakaran), masing-masing 154
kali;
* Al-zakah (zakat/penyucian) dengan
al-barakat (kebajikan yang banyak),
masing-masing 32 kali;
* Al-fahisyah (kekejian) dengan al-
ghadhb (murka), masing-masing 26
kali.
D. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan kata
penyebabnya.
* Al-israf (pemborosan) dengan al-
sur ’ah (ketergesa-gesaan), masing-
masing 23 kali;
* Al-maw ’izhah (nasihat/petuah)
dengan al-lisan (lidah), masing-
masing 25 kali;
* Al-asra (tawanan) dengan al-harb
(perang), masing-masing 6 kali;
* Al-salam (kedamaian) dengan al-
thayyibat (kebajikan), masing-
masing 60 kali.
E. Keseimbangan-keseimbangan
khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk
tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak
hari-hari dalam setahun. Sedangkan
kata hari yang menunjuk kepada
bentuk plural (ayyam) atau dua
(yawmayni), jumlah
keseluruhannya hanya 30, sama
dengan jumlah hari dalam sebulan.
Disisi lain, kata yang berarti “bulan”
(syahr) hanya terdapat 12 kali, sama
dengan jumlah bulan dalam
setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan bahwa
langit ada “tujuh”. Penjelasan ini
diulanginya sebanyak 7 kali pula,
yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah
29, Al-Isra ’ 44, Al-Mu’minun 86,
Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk
3, dan Nuh 15. Selain itu,
penjelasannya tentang terciptanya
langit dan bumi dalam enam hari
dinyatakan pula dalam 7 ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk kepada
utusan Tuhan, baik rasul (rasul),
atau nabiyy (nabi), atau basyir
(pembawa berita gembira), atau
nadzir (pemberi peringatan),
keseluruhannya berjumlah 518 kali.
Jumlah ini seimbang dengan jumlah
penyebutan nama-nama nabi, rasul
dan pembawa berita tersebut, yakni
518 kali.
(4) Kata lautan (al bahar) disebutkan
32 kali sedangkan kata daratan (al
bar) disebutkan 13 kali. Jika di
jumlahkan perkataan yang berkaitan
tentang “lautan” dan “daratan”
adalah 45 perkataan. Seperti
pengiraan berikut :
Lautan : 32/45 X 100% = 71.11111111%
Daratan : 13/45 X 100% =
28.88888888%
Kini telah kita ketahui persentase
antara “Lautan” dan “Daratan” di
dalam dunia ini sebagaimana yang
di sebutkan di dalam kitab suci Al
Quran.
(5) [Quran 3:59]
Sesungguhnya persamaan “Isa” di
sisi Allah seperti persamaan
“ Adam”.
Kata “Isa” dan “Adam” sama-sama
muncul 25 kali.
(6) [Quran 7:176]
Persamaan “anjing” dengan “kaum
yang mendustakan ayat-ayat Kami”
adalah : bahwa “kaum yang
mendustakan ayat-ayat Kami” (al-
qawmul-ladzi_na kadz-dabu_ bi
a_ya_tina_) dipersamakan/
diibaratkan kelakuannya seperti
seekor “anjing” (kalb). Jika kamu
menghalaunya, ia menjulurkan
lidahnya, atau jika kamu
membiarkannya, ia menjulurkan
lidahnya juga.
“Anjing” (kalb) tertulis 5 kali
sebagaimana kata “Kaum yang
mendustakan ayat-ayat Kami” (al-
qawmul-ladzi_na kadz-dabu_ bi
a_ya_tina_) tertulis 5 kali juga.
(7) [Quran 29:41]
Persamaan “orang-orang yang
mengambil untuk mereka wali-wali
selain daripada Allah ” (alladzi_nat-
takhadzu_ mindu_nil-laahi), ialah
seperti persamaan “laba-laba”
(al-’ankabu_t). Laba-laba
(al-’ankabu_t) tertulis 2 kali, “Orang-
orang yang mengambil untuk
mereka wali-wali selain daripada
Allah ” (alladzi_nat-takhadzu_
mindu_nil-laahi) tertulis 2 kali juga.
(8) [Quran 62:5]
Persamaan “orang-orang yang
dibebankan dengan
Taurat ”,kemudian mereka tidak
memikulnya adalah seperti
persamaan “seekor keledai” yang
memikul buku-buku yang tebal.
“ Keledai” (al-hima_r) dan “orang-
orang yang dibebankan dengan
taurat ” (al-ladzi_na humilut-tawra_t)
sama-sama muncul di ayat ini, yaitu
hitungannya sama-sama satu kali
muncul.
F. Berkaitan dengan pertidaksamaan
matematik.
Dalam Quran, dijumpai hint tentang
pertidaksamaan ketika ada ayat yang
menyatakan “Adakah sama antara A
dan B (hal yastawi_ A wa B?),
sebagaimana ditemukan dalam
beberapa ayat. Tentunya, kita akan
berfikiran bahwa tentu saja
kemungkinan (probabilitas)
ketidaksamaan jumlah antara A dan
B adalah sangat besar, akan tetapi
anehnya, jika kita temukan ayat
yang menyatakan ketidaksamaan
antara A dan B, diketahui bahwa
perbedaan jumlah antara A dan B
adalah TEPAT SATU.
Contoh:
[Quran 4:95]
Tidaklah sama antara “mu’min yang
duduk [yang tidak ikut berperang]
yang tidak mempunyai “uzur”" (al-
qa_idu_n) dengan “orang-orang
yang berjihad di jalan Allah” (al-
muja_hidu_n) …
Jumlah kemunculan (al-qa_idu_n) /
(al-qa_idi_n) = 4
Jumlah kemunculan (al-
muja_hidu_n) / (al-muja_hidi_n) = 3
[Quran 6:50]
.. Apakah sama “orang yang
buta” (al-a’ma_) dengan “orang yang
melihat” (al-bashi_r)? Maka apakah
kamu tidak memikirkan(nya)?
Jumlah kemunculan (al-a’ma_) = 8
Jumlah kemunculan (al-bashi_r) = 9
[Quran 13:16]
.. Adakah sama orang buta dan
yang dapat melihat, atau samakah
“ gelap gulita” (adz-dzuluma_t) dan
“terang benderang” (an-nu_r) …
Jumlah kemunculan (adz-dzuluma_t)
= 14
Jumlah kemunculan (an-nu_r) = 13
Ada sedikit kejanggalan terhadap
fenomena ini di Quran 5:100, yang
dijelaskan sebagai berikut :
[Quran 5:100]
.. :Tidak sama “yang buruk” (al-
khabi_ts) dengan”yang baik” (at-
thayyib), meskipun banyaknya yang
buruk itu menarik hatimu, …
Catat akhir ayat di atas, bahwa:
“ banyaknya yang buruk itu menarik
hatimu, … ”
Ternyata, jumlah kata (al-khabi_ts)
dengan (at-thayyib) adalah SAMA,
yaitu 7 kali kemunculan. Penjelasan
dari kejanggalan ayat ini ditemukan
di Quran 8:37 yang menyatakan :
[Quran 8:37]
Supaya Allah memisahkan yang
buruk daripada yang baik, dan
“ supaya Dia meletakkan yang buruk,
sebahagiannya di atas sebahagian
yang lain ”, …
Di ayat ini, dikatakan bahwa Dia
meletakkan “yang buruk” (al-
khabi_ts) sebahagian di atas
sebahagian yang lainnya, sehingga
jumlahnya seakan-akan bertambah
(seakan-akan sama, yakni sama-
sama muncul 7 kali).
Demikianlah sebagian dari hasil
penelitian yang kita rangkum dan
kelompokkan ke dalam bentuk
seperti terlihat di atas.
2. Adanya pemberitaan ghaib di
dalamnya
Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi
Musa., diceritakan dalam surah
Yunus. Pada ayat 92 surah itu,
ditegaskan bahwa “Badan Fir’aun
tersebut akan diselamatkan Tuhan
untuk menjadi pelajaran generasi
berikut .” Tidak seorang pun
mengetahui hal tersebut, karena hal
itu telah terjadi sekitar 1200 tahun
S.M.
Nanti, pada awal abad ke-19,
tepatnya pada tahun 1896, ahli
purbakala Loret menemukan di
Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu
mumi, yang dari data-data sejarah
terbukti bahwa ia adalah Fir ’aun
yang bernama Maniptah dan yang
pernah mengejar Nabi Musa a.s.
Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908,
Elliot Smith mendapat izin dari
pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut Fir ’aun tersebut.
Apa yang ditemukannya..? adalah
satu jasad Fir’aun utuh, seperti yang
diberitakan oleh Al-Quran melalui
Nabi yang ummiy (tak pandai
membaca dan menulis itu).
Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah
berkunjung ke Museum Kairo, akan
dapat melihat Fir ’aun tersebut.
Terlalu banyak ragam serta
peristiwa gaib yang telah
diungkapkan Al-Quran dan yang
tidak mungkin dikemukakan dalam
kesempatan yang terbatas ini.
3. Isyarat-isyarat ilmiah yang
terkandung di dalamnya
Banyak sekah isyarat ilmiah yang
ditemukan dalam Al-Quran.
Misalnya diisyaratkannya bahwa
“ Cahaya matahari bersumber dari
dirinya sendiri, sedang cahaya bulan
adalah pantulan (dari cahaya
matahari )” (perhatikan QS 10:5); atau
bahwa jenis kelamin anak adalah
hasil sperma pria, sedang wanita
sekadar mengandung karena
mereka hanya bagaikan
“ ladang” (QS 2:223); dan masih
banyak lagi lainnya yang
kesemuanya belum diketahui
manusia kecuali pada abad-abad
bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Dari manakah Muhammad
mengetahuinya kalau bukan dari
Dia, Allah Yang Maha Mengetahui.?
Kesemua aspek tersebut tidak
dimaksudkan kecuali menjadi bukti
bahwa petunjuk-petunjuk yang
disampaikan oleh Al-Quran adalah
benar, sehingga dengan demikian
manusia yakin serta secara tulus
mengamalkan petunjuk-
petunjukNya.***

Selasa, 18 Mei 2010

Urutan turunnya wahyu Al quran

Urutan Turun No. Surat Nama Surat Jumlah Ayat Tempat Turun
1 96 Al-'Alaq 19 Makkiyah
2 68 Al-Qalam 52 Makkiyah
3 73 Al-Muzzammil 20 Makkiyah
4 74 Al-Muddatstsir 56 Makkiyah
5 1 Al-Faatihah 7 Makkiyah
6 111 Al-lahab 5 Makkiyah
7 81 At-Takwiir 29 Makkiyah
8 87 Al-A'laa 19 Makkiyah
9 92 Al-Lail 21 Makkiyah
10 89 Al-Fajr 30 Makkiyah
11 93 Adh-Duhaa 11 Makkiyah
12 94 Al-insyirah 8 Makkiyah
13 103 Al-'Ashr 3 Makkiyah
14 100 Al-'Aadiyaat 11 Makkiyah
15 108 Al-Kautsar 3 Makkiyah
16 102 At-Takaatsur 8 Makkiyah
17 107 Al-Maa'uun 7 Makkiyah
18 109 Al-Kaafiruun 6 Makkiyah
19 105 Al-Fiil 5 Makkiyah
20 113 Al-Falaq 5 Makkiyah
21 114 An-Naas 6 Makkiyah
22 112 Al-Ikhlas 4 Makkiyah
23 53 An-Najm 62 Makkiyah
24 80 Abasa 42 Makkiyah
25 97 Al-Qadr 5 Makkiyah
26 91 Asy-Syams 15 Makkiyah
27 85 Al-Buruuj 22 Makkiyah
28 95 At-Tiin 8 Makkiyah
29 106 Quraisy 4 Makkiyah
30 101 Al-Qaari'ah 11 Makkiyah
31 75 Al-Qiyaamah 40 Makkiyah
32 104 Al-Humazah 9 Makkiyah
33 77 Al-Mursalaat 50 Makkiyah
34 50 Qaaf 45 Makkiyah
35 90 Al-Balad 20 Makkiyah
36 86 Ath-Thaariq 17 Makkiyah
37 54 Al-Qamar 55 Makkiyah
38 38 Shaad 88 Makkiyah
39 7 Al-A'raaf 206 Makkiyah
40 72 Al-Jin 28 Makkiyah
41 36 Yaasiin 83 Makkiyah
42 25 Al-Furqaan 77 Makkiyah
43 35 Faathir 45 Makkiyah
44 19 Maryam 98 Makkiyah
45 20 Thaahaa 135 Makkiyah
46 56 Al-Waaqi'ah 96 Makkiyah
47 26 Asy-Syu'araa' 227 Makkiyah
48 27 An-Naml 93 Makkiyah
49 28 Al-Qashash 88 Makkiyah
50 17 Al-Israa' 111 Makkiyah
51 10 Yunus 109 Makkiyah
52 11 Huud 123 Makkiyah
53 12 Yusuf 111 Makkiyah
54 15 Al-Hijr 99 Makkiyah
55 6 Al-An'am 165 Makkiyah
56 37 Ash-Shaaffat 182 Makkiyah
57 31 Luqman 34 Makkiyah
58 34 Saba ' 54 Makkiyah
59 39 Az-Zumar 75 Makkiyah
60 40 Al-Mu'min 85 Makkiyah
61 41 Fushshilat 54 Makkiyah
62 42 Asy-Syuura 53 Makkiyah
63 43 Az-Zukhruf 89 Makkiyah
64 44 Ad-Dukhaan 59 Makkiyah
65 45 Al-Jatsiyaah 37 Makkiyah
66 46 Al-Ahqaaf 35 Makkiyah
67 51 Adz-Dzariyaat 60 Makkiyah
68 88 Al-Ghaasyiyah 26 Makkiyah
69 18 Al-Kahfi 110 Makkiyah
70 16 An-Nahl 128 Makkiyah
71 71 Nuh 28 Makkiyah
72 14 Ibrahim 52 Makkiyah
73 21 Al-Anbiyaa' 112 Makkiyah
74 23 Al-Mu'minuun 118 Makkiyah
75 32 As-Sajdah 30 Makkiyah
76 52 At-Thuur 49 Makkiyah
77 67 Al-Mulk 30 Makkiyah
78 69 Al-Haaqqah 52 Makkiyah
79 70 Al-Ma'aarij 44 Makkiyah
80 78 An-Naba' 40 Makkiyah
81 79 An-Nazi'at 46 Makkiyah
82 82 Al-Infithaar 19 Makkiyah
83 84 Al-Insyiqaaq 25 Makkiyah
84 30 Ar-Ruum 60 Makkiyah
85 29 Al-'Ankabuut 85 Makkiyah
86 83 Al-Muthaffifiin 36 Makkiyah
87 2 Al-Baqarah 286 Madaniyah
88 8 Al-Anfaal 75 Madaniyah
89 3 Ali 'Imran 200 Madaniyah
90 33 Al-Ahzab 73 Madaniyah
91 60 Al-Mumtahanah 13 Madaniyah
92 4 An-Nisaa' 176 Madaniyah
93 99 Al-Zalzalah 8 Madaniyah
94 57 Al-Hadiid 29 Madaniyah
95 47 Muhammad 38 Madaniyah
96 13 Ar-Ra'd 43 Madaniyah
97 55 Ar-Rahmaan 78 Makkiyah
98 76 Al-Insaan 31 Madaniyah
99 65 Ath-Thalaaq 12 Madaniyah
100 98 Al-Bayyinah 8 Madaniyah
101 59 Al-Hasyr 24 Madaniyah
102 24 An-Nuur 64 Madaniyah
103 22 Al-Hajj 78 Madaniyah
104 63 Al-Munaafiquun 11 Madaniyah
105 58 Al-Mujaadilah 22 Madaniyah
106 49 Al-Hujuraat 18 Madaniyah
107 66 At-Tahriim 12 Madaniyah
108 64 At-Taghaabun 18 Madaniyah
109 61 Ash-Shaff 14 Madaniyah
110 62 Al-Jumu'ah 11 Madaniyah
111 48 Al-Fath 29 Madaniyah
112 5 Al-Maa-idah 120 Madaniyah
113 9 At-Taubah 129 Madaniyah
114 110 An-Nashr 3 Madaniyah